Translate

Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » PERKEMBANGAN FIQIH PADA MASA TABIIN

PERKEMBANGAN FIQIH PADA MASA TABIIN



BAB I
                                                           PENDAHULUAN                                         
A.    LATAR BELAKANG
Ilmu ushul fiqih merupakan suatu disiplin ilmu yang dirasa sangatlah penting bagi umat islam, karena dengan ilmu ushul fiqih seseorang dapat mengetahui dasar-dasar hukum atas penyimpulan sebuah hukum yang tentunya tetap didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah. Pada zaman Rasulullah fiqih belum ada ilmu spesifik yang membahas tentang fiqih dengan segala permasalahannya. Dalam menyimpulkan suatu hukum, umat islam tidak perlu melakukan ijtihad karena semua permasalahan sudah terselesaikan dengan jawaban dari Rasulullah yang tentunya berdasarkan Al-Qur’an ataupun sunnah beliau sendiri. Lainnya halnya dengan zaman Rasulullah fiqih sangatlah berkembang pada masa setelah Rasulullah wafat. 
Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh metode masalah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu. Oleh karena itu pada makalah ini akan dibahas lebih dalam mengenai perkembangan fiqih pada masa tabiin lebih dalam.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimanakah perkembangan fiqih pada masa Tabi’in?
2.      Apa sajakah sumber-sumber hukum yang digunakan pada masa Tabi’in?
3.      Bagaimanakah perkembangan ijtihad pada masa Tabi’in?
C.    TUJUAN
1.      Untuk mengetahui perkembangan fiqih pada masa Tabi’in
2.      Untuk mengetahui sumber-sumber hukum yang digunakan pada masa Tabi’in
3.      Untuk mengetahui perkembangan ijtihad pada masa Tabi’in

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PERKEMBANGAN FIQIH PADA MASA TABIIN
Dari masa ke masa fiqih selalu mengalami perkembangan begitu juga pada era sighar sahabat dan tabiin yang merupakan periode ketiga dalam sejarah perkembangan fiqih yakni setelah periode kenabian dan periode sahabat. Sebelum dibahas lebih dalam mengenai  perkembangan fiqih pada masa tabiin, akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian tabiin.  Menurut Hermi (2008) tabiin adalah : orang yang berjumpa dengan shahabat Nabi Muhammad SAW dalam keadaan ia beriman kepada Nabi Muhammad SAW meskipun ia tidak melihat beliau dan ia mati di atas keislamannya. Generasi tabiin ini juga merupakan murid-murid sahabat yang banyak belajar mengenai keislaman. Pada periode tabiin ini para fuqaha terbagi menjadi dua golongan besar yaitu golongan ahlu ra’yi dan ahlul hadits. Golongan ahlu ra’yi berdomisili Irak dan golongan ini cenderung menyimpulkan suatu hukum berdasarkan rasionalitas, sedangkan golongan ahlul hadits berdomisili di daerah Hijaz dan golongan ini menolak keras kecenderungan baru yang dimiliki kelompok ahlu ra’yi karena golongan ini berpendapat bahwa agama adalah ketentuan Ilahi yang tidak bisa dirasionalisasi.
            Berbeda dengan fuqaha Irak yang gemar menyelami suatu hukum, mencari‘illat dan tujuan-tujuan moral di balik hukum yang tampak, fuqaha Hijaz malah memahami nash-nash secara sangat literal (dhahir) dan menganggap fatwa sahabat juga sebagai sumber setelah Al-Qur’an dan Sunnah (Sirry, 1996). Lahirnya dua golongan besar ini dipengaruhi beberapa factor baik dari factor cultural dan factor struktural. Dari factor kultural, domisili atau  tempat tinggal yang keadaannya sangat jauh berbeda membuat fuqaha Hijaz dan Irak memiiliki kecenderungan sendiri dalam meyimpulkan suatu hukum. Irak adalah negara yang letaknya jauh dari bumi kenabian serta banyak mendapat pengaruh kebudayaan dan peradaban lain dari luar Irak terutama pengaruh pemikiran pemikiran dari bangsa barat. Fuqaha daerah ini sering dihadapkan pada berbagai persoalan dan problematika kehidupan yang sangat beragam. Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut sulit bagi mereka untuk menanyakan pemecahan permasalahan tersebut kepada para tabiin yang langsung belajar dari sahabat karena letak Irak yang jauh dari Makkah atau Madinah. Hal ini membuat fuqaha Irak terpaksa memakai ijtihad dan rasio.
            Keadaan ini berbeda dengan fuqaha di Hijaz, letak Hijaz yang tak jauh dari Madinah dan yang pada saat itu merupakan gudangnya ilmu keislaman membuat fuqaha Hijaz lebih mudah untuk belajar langsung kepada ulama-ulama Madinah dan mereka juga tidak perlu berijtihad karena sudah ada fatwa-fatwa sahabat yang bisa mengatasi pesoalan yang mereka hadapi. Selain itu, masyarakat daerah ini masih diliputi oleh suasana kehidupan sederhana, seperti keadaan pada masa Nabi SAW. Untuk mengatasi berbagai masalah dalam kondisi seperti ini para fuqaha merasa cukup dengan hanya mangandalkan pemahaman literal terhadap Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ sahabat. Karena itulah mereka tidak merasa perlu berijtihad seperti fuqaha Irak.
            Sedangkan factor structural yang mempengaruhi perbedaan kecenderungan antara fuqaha Hijaz dan fuqaha Irak diantaranya adalah pengaruh metodologi sahabat. Fuqaha Madinah seperti Abdullah bin ‘Amr bin Ash dan Zubair Abdullah bin Umar yang tidak mau menggunakan rasionalitas dalam menyimpulkan suatu hukum serta memandang nash secara literalis.hal ini mempengaruhi tabiin yang berguru pada beliau. Fuqaha Madinah cenderung mempertahankan ketentuan apa yang tertulis dalam nash secara dhahiriyah tanpa melakukan penafsiran yang lebih lanjut kecuali dalam keadaan terpaksa. Pernah diceritakan oleh Sirry (1996) bahwa suatu waktu Salim bin Abdullah bin Umar ditanya tentang suatu persoalan tapi beliau tidak menjawabnya dan mendiamkannya karena beliau takut salah dalam menentukan hukum. Hal ini mencerminkan bahwa fuqaha Madinah dan Hijaz lebih memilih mendiamkan persoalan daripada menyimpulkan suatu hukum yang berdasarkan pendapat mereka sendiri.
            Hal ini berbeda dengan fuqaha Irak yang terpengaruh oleh pemikiran Umar bin Khattab yang cenderung bersifat rasional. Sehingga ketika Ibnu Mas’ud mengajarkan keislaman pada muridnya beliau juga mewarisi kecenderungan pemikirannya tersebut. Diantara murid Ibnu Mas’ud yang sangat apresiatif terhadap pemikirannya yaitu ‘Alqamah, Ibnu Masyruq dan Syuraih. Dan dari salah satu muridnya ini yaitu ‘Alqamah, pemikiran rasioanalitas mulai diwariskan ke generasi selanjutnya dan akhirnya sampai kepada Ibrahin An-Nakh’ie (guru Abu Hanifah) yang terkenal sebagai pendiri fakultas ahli ra’yi. Selain dari factor metodologi sahabat, perkembangan teologi yang terjadi di Irak juga mempengaruhi perbedaan pemikiran fuqaha seperti adanya golongan khawarij dan syiah di daerah Irak. Munculnya pemalsuan dalam periwayatan hadits juga menuntut fuqaha Irak melakukan seleksi yang ketat terhadap penerimaan hadits. Sedangkan di Hijaz tanpa melakukan penyeleksian periwayatan haditspun mereka sudah mendapatkan fatwa-fatwa dari sahabat sehingga mereka tidak perlu melakukan ijtihad.
            Menurut Sirry (1996) hal yang paling menarik pada fuqaha Irak adalah mereka memiliki keistimewaan memprediksi suatu peristiwa yang belum muncul sekaligus menetapkan hukumnya. Kajian-kajian fiqih model terakhir ini kemudian mendapat perhatian agak besar dari periode berikutnya. Kajian-kajian produktif itu disebut al-fiqh el-fardli atau al-fiqh el-taqdiri.
Selain daripada ciri-ciri fuqaha ahlu ra’yi dan ahlul hadits yang telah dijelaskan diatas Qhattan (2011) juga mengemukakan ciri-ciri lain yaitu:
Ciri-Ciri Madrasah Ahlu Ra’yi (Orang Yang Berpendapat Dengan Akal)
1.      terlalu banyak merinci masalah furu’karena terlalu sering dihadapkan dengan realita,oleh karena itu mereka terkadang mempermasalahkan masalah yang belum terjadi,kebanyakan mereka mengucap:bagamaina kalau misalnya seperti ini? Bagamaina kalau misalnya seperti ini? Bagamaina kalau misalnya seperti ini? Lalu mereka membuat hukum hal yang belum terjadi tersebut.lalu bertanya  lagi:bagaimana kalau kemudian seperti ini lagi.kemudian mereka terus-menerus mencabangkan masalah furu’,tanpa melihat hal tersebut mungkin terjadi atau tidak,sampai-sampai ulama’hadits menyebut mereka al araaitiyyun,
Said bin musayyad berkata padab rabi’ah saat dia punya suatu permasalahan:apakah kau orang iraq?asad bin al farad pernah datang pada malik bin anas,asad pun bercerita:orang-orang disekitar malik saat itu banyak menanyai malik tentang masalah,aku pun bertanya juga,setelah pertanyaanku dijawab,orang-orang menyuruh saya untuk bertanya lagi,bagaimana kalau masalahnya seperti ini,aku pun  bertanya lagi pada malik,dia pun menunda jawabannya sehari,kemudian dia berkata di hari esoknya ,dia adalah salih silah binti salih silah,kalau kamu mau silahkan ke iraq.
2.      sedikit meriwayatkan hadist serta memilah-milah hadist dengan beberapa persyaratan, mereka tidak gencar-gencar dalam meriwayatkan hadist,seperti halnya Umar bin Khattab dan Ibnu Mas’ud,mereka juga jarang meriwayatkan langsung dari Rasulullah mereka seakan-akan enggan meriwayatkan dari Rasulullah tapi tidak enggan meriwayatkan dari akal mereka sendiri.



Ciri-ciri Madrasah Ahli Hadits
1.      mereka tidak banyak mempertanyakan dan memaksakan permasalahan karena hokum itu berdasarkan realita bukan berdasarkan hal yang masih bersifat sangkaan. Nash agam sudah menunjukkan hukum bukan mencari illat-illat dalam hukum atau hubungan hukum dengan illatnya.
2.      Banyak meriwayatkan hadits dan berhenti sampai ke atsar saja. Keilmuan menurut mereka mencakup 3 bidang yaitu Al-Qur’an, Hadits dan Atsar. Perhatian ereka focus pada asal pensyari’atan dan landasan-landasan fiqih.


B.     SUMBER-SUMBER FIQIH PADA MASA TABIIN
Sumber-sumber fiqih periode ini sama seperti periode khulafaur rasyidin, yaitu Al-Qur'an, sunnah dan ijtihad. Hanya saja pada periode ini muncul upaya untuk mengumpulkan dan menulis hadits. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwasanya pada masa tabiin ditemukan adanya pemalsuan periwayatan hadits, kemungkinan besar hal inilah yang mendasari adanya pengumpulan dan periwayatan hadits. Selain factor mendasar tadi pengumpulan dan penulisan hadits juga dipengaruhi oleh factor lain, seperti adanya desakan keadaan bagi fuqaha yang mulai menghadapi problematika dan persoalan baru yang menuntut mereka untuk segera menyelesaikannya yang tentunya didasarkan atas Sunnah atau hadits Nabi. Selain itu mulai hilangnya kekhawatiran terhadap timbulnya perhatian yang berlebihan terhadap penulisan Sunnah sehingga melupakan penulisan wahyu seperti yang dialami Rasulullah pada saat Al-Qur’an diturunkan.
Penulisan Sunnah yang dilakukan pada masa ini diprakarsai oleh Umar bin Abdul Azis yang pada saat itu menjabat sebagai Khalifah ke delapan dari Dinasti Umayyah. Kesimpulan ni dapat dilacak pada surat kalifah Umar bin Abdul Azis kepada gubernur Madinah yaitu Abu Bakar bin Hazm. Pada suratnya beliau memerintahkan untuk melakukan penulisan hadits  seperti yang tercermin pada kata-kata beliau “Tulis apa yang kamu dapati dari hadits Nabi. Saya khawatir akan kehilangan pelajaran dengan perginya para ulama” (Sirry, 1996). Meskipun pada masa ini penulisan hadits masih sangat sederhana dan belum memilah-milah hadits berdasarkan masalah-masalah tertentu, tapi para ulama yang berkompetensi pada bidang hadits pada masa ini sungguh bekerja keras dalam melakukan periwayatan hadits. Bahkan mereka mulai menetapkan syarat-syarat khusus yang sangat ketat diberlakukan pada periwayatan hadits seperti kesinambungan sanad. Selain itu mereka juga mulai mempelajari sejarah kehidupan para perawi dimana mereka juga memperhatikan tingkah laku serta kejujuran yang merupakan syarat mutlak bagi para perawi hadits. Meskipun periwayatan haditspada masa ini sangat sederhana akan tetapi hal ini sudah menyelamatkan nasib hadits yang sewaktu-waktu bisa disalah gunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang hanya menggunakan hadits untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Dan ini merupakan sumbangan yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu keislaman khususnya di bidang periwayatan hadits.

C.    PERKEMBANGAN IJTIHAD PADA MASA TABIIN
Pada masa ini pengunaan ijtihad semakin kokoh. Akan tetapi musyawarah sangat sulit dilakukan karena para ulama telah terpencar ke berbagai daerah yang saling berjauhan antar satu daerah dengan yang lain.
            Adapun ulama Iraq dalam memberikan fatwa  mereka sangat terpengaruh oleh cara berpikirnya  Umar sayidina Ali dan Ibnu Mas’ud. Mereka ini dikenal dari kalangan sahabat Nabi yang terlalu banyak menggunakan ro’yi. Adapun kalangan Tabi’in yang mengikuti mereka jejaknya yaitu “Al Qamah bin Qis An Nakhoi (guru Imam Abu Hanifah) dan Ibrahim An Nakhoi. Golongan mereka ini terkenal dengan ahlu Ro’yi. Sedangkan Ulama Hijaz dalam berijtihad sangan terpengaruh oleh cara berpikirnya Ibnu Umar dan Ibnu Abbas dalam berijtihad. Tabiin yang terpengaruh antara lain: Said Ibnu Musayah, Mujahid bin Jubair, Atha dan Thaus. Yang paling termasyhur diantara mereka adalah Ibnu Musayah.
Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini akan diberikan contoh mengenai perbedaan pendapat di kalangan tabiin dari golongan Ahli hadits dan Ahli ro’yi yang diambil dari buku “Perbedaan Pendapat Dalam Madzhab” yang ditulis oleh Achmad Mudlor (1994). Adapun dari Ahli Hadits yaitu Sayid Ibnu Musayab sedangkan dari golongan Ahli ro’yi yaitu Robi’ah, dimana mereka berdua berdialog tentang diyad anak jari perempuan yang dilukai sebagai berikut:
“Berapakah kiranya diyad terhadap sebuah jari seorang perempuan?” Tanya Robi’ah;
“Sepuluh ekor unta”, jawab Sa’id.
“Jika dua anak dua jari?”
“Dua puluh ekor unta”.
“Jika tiga anak jari?”
“Tiga puluh ekor unta”.
“Jika empat anak jari?”
“Dua puluh ekor unta”.
Mendengar jawaban dari Sa’id yang terakhir ini Robi’ah berkata:
Apakah semakin besar lukanya, makin semikin diyadnya? Demi Sa’id mendengar yang demikian, beliaupun berkata : ”Apakah anda bermadzhab ulama Iraq? Itulah sunnah yang saya terangkan.
Demikian dialog yang dari golongan ahli hadits dan ahli ro’yi sebagai contoh perbedaan pendapat pada masa Tabiin.
Selain dari kedua golongan diatas terdapat juga 3 golongan lain yaitu : khawarij, syiah, jumhur. Yang masing-masing mereka memiliki metode sendiri dalam berijtihad. Golongan khawarij dan Syiah menetapkan ijtihad tentang hokum-hukum pokok yang disesuaikan dengan pandangan politik mereka. Sedangkan golongan jumhur terbagi menjadi 2 yaitu golongan yang terpengaruh ulama Irak dan golongan yang terpengaruh ulama Hijaz.

                                                      









BAB III
KESIMPULAN
Perkembangan fiqih sangat pesat apalagi  pada saat setelah wafatnya Rasulullah SAW. Dan pada masa Tabiin terdapat dua golongan yang sangat berpengaruh yaitu Ahlu Ro’yi (fuqaha di Irak) dan Ahlul Hadits (Fuqaha di Hijaz). Fuqaha di Irak cenderung melibatkan rasional ketika menyimpulkan hukum suatu persoalan dan itu sangat berbeda dengan Fuqaha Hijaz yang cenderung menganggap bahwa persoalan agama adalah ketentuan Ilahi yang tidak bisa dirasionalisasikan. Hal ini terjadi karena dipengaruhi beberapa factor baik cultural ataupun structural. Perbedaan kecenderungan ini mengakibatkan pada perbedaan cara berijtihad para ulama di Irak dan Hijaz.




















DAFTAR PUSTAKA
           
Hermi, Purtiatri. 2008. Siapakah Yang Dimaksud Dengan Sahabat dan Tabiin?. (online), (http://najiyah1400h.wordpress.com/2008/04/25/siapakah-yang-dimaksud-dengan-shahabat-dan-tabiin/), diakses tanggal 13 Februari 2013.
Mudlor, Ahmad. 1994. Perbedaan Pendapat Dalam Madzhab. Sarjana Indonesia.
 Sirry, Mun’im A, 1996. Sejarah Fiqih Islam. Surabaya. Risalah Gusti.

القطان، مناع خليل. ٢٠١١ . التشريع والفقه في الإسلام. القهرة. مكتبة وهبة.

0 komentar:

Posting Komentar