Translate

Diberdayakan oleh Blogger.

IMAM HANBALI



“Ia murid paling cendekia yang pernah saya jumpai selama di Baghdad. Sikapnya menghadapi sidang pengadilan dan menanggung petaka akibat tekanan khalifah Abbasiyyah selama 15 tahun karena menolak doktrin resmi Mu’tazilah merupakan saksi hidup watak agung dan kegigihan yang mengabdikannya sebagai tokoh besar sepanjang masa.”
Penilaian itu diungkapkan Imam Syafi’i, yang tak lain adalah guru Imam Hanbali. Menurut Syafi’i, perjuangan mempertahankan keyakinan yang tak sesuai dengan pemikiran seseorang, selalu menghadapi risiko antara hidup dan mati. Dan Imam Hanbali membuktikan hal itu.
Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini memang sangat memberikan perhatian besar pada ilmu yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi hadits terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah didikannya. Karya-karya mereka seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya.
Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi sehingga mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala.
Hadits sejumlah itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya kembali dalam kitab karyanya Al Musnad. Dalam kitab tersebut, hanya 40.000 hadits yang dituliskan kembali dengan susunan berdasarkan tertib nama sahabat yang meriwayatkan. Umumnya hadits dalam kitab ini berderajat sahih dan hanya sedikit yang berderajat dhaif. Berdasar penelitian Abdul Aziz al Khuli, seorang ulama bahasa yang banyak menulis biografi tokoh sahabat, sebenarnya hadits yang termuat dalam Al Musnad berjumlah 30 ribu karena ada sekitar 10 ribu hadits yang berulang.
Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadits, bukan datang begitu saja. Tokoh kelahiran Baghdad, 780 M (wafat 855 M) ini, dikenal sebagai ulama yang gigih mendalami ilmu. Lahir dengan nama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali dibesarkan oleh ibunya, karena sang ayah meninggal dalam usia muda. Hingga usia 16 tahun, Hanbali belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lain kepada ulama-ulama Baghdad.
Setelah itu, ia mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat seperti Kufah, Basra, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah. Beberapa gurunya antara lain Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walin bin Muslim, dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Hanbali muda mendalami fikih, hadits, tafsir, kalam, dan bahasa. Karena kecerdasan dan ketekunannya, Hanbali dapat menyerap semua pelajaran dengan baik.
Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali mendengar ada ulama terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama hanya untuk menimba ilmu dari sang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang menjadikan Hanbali rela tak menikah dalam usia muda. Ia baru menikah setelah usia 40 tahun.
Pertama kali, ia menikah dengan Aisyah binti Fadl dan dikaruniai seorang putra bernama Saleh. Ketika Aisyah meninggal, ia menikah kembali dengan Raihanah dan dikarunia putra bernama Abdullah. Istri keduanya pun meninggal dan Hanbali menikah untuk terakhir kalinya dengan seorang jariyah, hamba sahaya wanita bernama Husinah. Darinya ia memperoleh lima orang anak yaitu Zainab, Hasan, Husain, Muhammad, dan Said.
Tak hanya pandai, Imam Hanbali dikenal tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim bin Hani, salah seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya menjadi saksi akan kezuhudan Imam Hanbali. ”Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali di waktu malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga Shubuh tiba,” katanya.

IMAM SYAFI’I



Ummat Islam sangat beruntung pernah memiliki ulama sekaligus perawi hadits yang sangat disegani itu. Dialah Imam Syafi’i. Saat berusia sembilan tahun, seluruh ayat Al-Qur’an dihafalnya dengan lancar (bahkan ia sempat 16 kali khatam Al-Qur’an, dalam perjalanannya antara Makkah dan Madinah). Setahun kemudian, isi kitab Al-Muwatta karya Imam Malik yang berisi 1.720 hadits pilihan juga dihafalnya tanpa cacat.
Kecerdasan membuat dirinya dalam usia 15 tahun telah duduk di kursi mufti kota Mekah, sebuah jabatan prestisius untuk ukuran masa itu. Kendati demikian, Imam Syafi’i yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris As Syafi’i tak pernah merasa puas menuntut ilmu. Bagi Imam Syafi’i, panggilan terkenalnya, semakin dalam menekuni sebuah ilmu, semakin banyak yang ia belum mengerti. Karena itu, tak heran guru dari Imam Syafi’i demikian banyak, sama banyaknya dengan para muridnya.
Lahir di Gaza, Palestina pada 150 H/767 M (w. Cairo, 20 Januari 820), Imam Syafii hidup di masa Kekhalifahan Harun Al-Rasyid, Al-Amin, dan Al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah. Ia termasuk keturunan bangsawan Quraisy dan masih keluarga jauh Rasulullah SAW. Dari ayahnya, garis keturunan bertemu di Abdul Manaf, kakek ketiga Rasulullah. Dari ibunya, ia cicit Ali bin Abi Thalib.
Semasa dalam kandungan, orang tuanya meninggalkan Mekah menuju Gaza, di wilayah Palestina. Setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah. Syafi’i diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi prihatin, serba kekurangan. Usia dua tahun, bersama ibunya, ia kembali ke Mekkah. Di kota inilah Syafi’i mendapat pengasuhan ibu dan keluarganya secara lebih intensif.
Setelah hafal Al-Qur’an, Syafi’i menekuni pula kesusasteraan Arab. Ia pun bermukim di dusun Badui, Banu Hudail, selama beberapa tahun. Di dusun ini ia mendalami bahasa, kesusasteraan, dan adat istiadat Arab yang asli. Karena ketekunan dan kepandaiannya, Syafi’i kemudian dikenal sebagai pakar dalam bahasa dan kesusasteraan Arab.
Puas belajar sastra Arab di tempatnya yang asli, Syafi’i kembali ke Mekah untuk belajar ilmu fikih. Gurunya, seorang ulama besar dan mufti kota Mekah, Imam Muslim bin Khalid az-Zanni. Ia pun belajar hadits dari Imam Sufyan bin Uyainah dan Al-Qur’an dari Imam Ismail bin Qastantin. Secara khusus, ia yang telah hafal Al-Muwatta’ berhasrat menemui sang penulisnya, Imam Malik, di Madinah. Hasratnya ini tercapai dan demi mendengar kepandaian Syafi’i, Imam Malik merasa sayang dan menyuruh tinggal di rumahnya sambil memperdalam ilmunya. Sejak itu, Syafi’i mendapat tugas untuk mendiktekan isi kitab Al-Muwatta’ kepada murid-murid Imam Malik.
Imam Syafi’i pun meninggalkan Madinah menuju Irak. Di negeri ini ia berguru kepada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan, keduanya sahabat Imam Abu Hanifah atau Imam Hanafi. Setelah dua tahun di Irak, Syafi’i melanjutkan pengembaraannya ke Persia, Hirah, Palestina, dan Ramallah, sebuah kota dekat Baitulmakdis (Yerusalem). Tujuannya hanya satu, menuntut ilmu pada ulama-ulama terkemuka dan mencari pengalaman. Dari Ramalah, ia kembali ke Madinah dan tinggal bersama Imam Malik hingga wafatnya ulama besar tersebut.
Atas undangan Wali Negeri Yaman, Abdullah bin Hasan, Imam Syafi’i berdiam di negeri ini dan menjadi penasihat urusan hukum. Di Yaman, Imam Syafi’i juga mengajar. Murid-muridnya banyak dari berbagai pelosok negeri. Oleh Abdullah bin Hasan ia dinikahkan dengan seorang putri bangsawan bernama Siti Hamidah bin Nafi yang masih cicit Usman bin Affan. Dari perkawinan itu, Imam Syafi’i dianugerahi tiga orang anak, Abdullah, Fatimah, dan Zainab.
Syafi’i terpaksa keluar dari Yaman karena ia ditangkap dengan tuduhan bersekongkol dengan kalangan Syi’ah mencoba menggulingkan pemerintahan. Ia pun dibawa ke Baghdad menghadap Khalifah Harun Al-Rasyid. Karena terbukti tak bersalah, ia pun dibebaskan.
Permintaan mengajar datang dari Mesir. Abbas bin Musa, wali negeri itu, memintanya datang. Dengan berat hati, Imam Syafi’i meninggalkan Baghdad dan mulai mengajar di Masjid Amr bin Ash. Biasanya, ia mulai mengajar sejak pagi hari hingga menjelang Dzuhur. Di negeri inilah, Imam Syafi’i berhasil menyelesaikan beberapa buku karyanya.
Sekalipun menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, dalam lentera keilmuan dan keagamaan Imam Syafi’i lebih dikenal sebagai ahli hadits dan hukum. Pusat pemikirannya boleh dibilang terfokus pada dua cabang ilmu tersebut. Pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi, menjadikan Syafi’i digelari sebagai Nasiir as Sunnah, atau pembela sunnah Nabi.
Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang begitu tinggi. Malah beberapa kalangan menyebut Syafi’i yang menyetarakan kedudukan sunnah dengan Al-Qur’an dalam kaitannya sebagai sumber hukum Islam. Karena itu, di mata Imam Syafi’i, setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman yang diperoleh Nabi dari pemahamannya terhadap Al-Qur’an.
Selain kepada kedua sumber tersebut, Al-Qur’an dan hadits, dalam mengambil ketetapan dan keputusan suatu hukum, Imam Syafi’i juga mengakui dan memakai ijma’ (kesepakatan ulama), qias (analogi), dan istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum Islam. Dalam karyanya, Ar Risalaah, kelima dasar ini dipaparkan secara jelas dan gamblang.
Dalam kaitannya dengan sunnah, Imam Syafi’i juga memakai hadits ahaad (perawinya satu orang), dan hadis mutawwatir (perawinya banyak orang). Menurutnya, bila dalam sunnah pun tidak didapati nasnya, ia mengambil ijma’ sahabat. Namun, jika tetap tak didapati juga, imam Syafi’i memakai qias sebagai jalan ketetapan hukum. Demikian pula, jika tidak ada dalil dalam qias dan ijma’, maka istidlal sebagai jalan terakhir memutuskan suatu hukum.
Berkaitan dengan bid’ah, imam Syafi’i berpendapat, bahwa bid’ah ada dua macam; bid’ah terpuji dan bid’ah sesat. Dikatakan terpuji jika bid’ah itu selaras dengan prinsip-prinsip sunnah. Sebaliknya, jika bertentangan dengan sunnah, dikatakan bid’ah sesat, dan karena itu tertolak. Sementara itu, dalam soal taklid, Imam Syafi’i selalu memberikan perhatian kepada para muridnya agar tidak menerima begitu saja pendapat-pendapat dan hasil ijtihadnya. Ia tidak senang murid-muridnya bertaklid buta kepada pendapat-pendapatnya.
Sebaliknya, ia selalu menyuruh murid-muridnya untuk bersikap kritis dan berhati-hati dalam menerima suatu pendapat. Dalam kaitan ini pula, imam Syafi’i terkenal dengan ungkapannya, “Inilah ijtihadku. Apabila kalian menemukan ijtihad lain yang lebih baik dari (ijtihadku), maka ikutilah ijtihad tersebut.” Ungkapan bijak itu hingga kini menjadi pelajaran penting dalam kaitannya dengan kehidupan beragama di Indonesia.
***

IMAM MALIK



Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah al muwatta’ (himpunan hadits) yang diadakan Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam.
”Rasyid, leluhur Anda selalu melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia,” nasihat Imam Malik kepada Khalifah Harun.
Sedianya, khalifah ingin jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Malik. ”Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.” Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.
Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712 M dan wafat tahun 796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ‘ilmu’ yang sangat terkenal.
Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.
Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah ujian hakiki seorang manusia.
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi’in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.
Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma’mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.
Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, ”Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.”
Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja’far, gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai’at (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai’at kepada khalifah yang mereka tak sukai.
Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai’at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian paksa. Ja’far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja’far merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya. Dengan hal itu, Ja’far seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak sang penguasa.
Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk berhaji.
Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia Islam. Pernah semua orang panik lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang memasuki masjid Kuffah. Tetapi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak dari tempatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang sudah menjadi adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada penghinaan seperti itu. Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya.
***
Dari Al Muwatta’ Hingga Madzhab Maliki
Al Muwatta’ adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimwaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.
Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta’ tak akan lahir bila Imam Malik tidak ‘dipaksa’ Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta’. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M).
Dunia Islam mengakui Al Muwatta’ sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta’, Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.
Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta’, kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.
Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga dikenal amat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).
Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki. (her)[republika.co.id]
Imam Muslim

Siapa tak kenal Imam Muslim. Di kalangan santri, karya-karyanya masih menjadi rujukan penting berkaitan dengan ilmu Hadits. Di bidang ini (periwayatan Hadits), namanya sering disandingkan dengan Imam Bukhari, penghimpun dan perawi Hadits terbaik. Karena itu, nama Imam Muslim dan Imam Bukhari kerap kali bersanding dalam periwayatan sebuah Hadits.
Keduanya pun, dalam literatur Islam, kemudian dikenal dengan sebutan Imam Syaikhaan (dua ulama besar perawi Hadits). Bahkan, tak jarang sebuah Hadits hanya ditulis perawinya dengan nama rawahu syaikhaan maksudnya tak lain Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Dilahirkan di Naisabur pada 202 H/817 M, Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur (kini termasuk wilayah Rusia, Red) dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara’a an Nahr. Artinya, daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.
Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu Hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, ia telah berkonsentrasi mempelajari Hadits. Beruntung, ia dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada ahli Hadits, Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, ia mulai menghafal Hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan Hadits.
Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang kemudian menjadi aktivitas rutin dirinya hanya untuk sekadar mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah Hadits.
Ia misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, tak terhindarkan Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru Hadits kepada mereka. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak ia belajar Hadits kepada Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas’Abuzar; di Mesir berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli Hadits lainnya.
Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah ia berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli Hadits. Kunjungannya yang terakhir ia lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu Hadits ketimbang dirinya.
Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, ia bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Lebih tragis lagi, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan Hadits-hadits Nabi SAW.
Imam Muslim dalam kitab Sahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan Hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal ia adalah gurunya. Hal serupa juga ia lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Sahihnya Hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendati demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Imam Muslim yang dikenal sangat tawadu’ dan wara’ dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu Hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar Hadits pada Universitas Damaskus, Syria, Hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Sahih Muslim, berjumlah 3.030 Hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 Hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, Hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 Hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah Hadits yang ia tulis dalam Sahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 Hadits yang ia ketahui. Untuk menyaring Hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
Soal metode penyusunan Hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta’dil, suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu Hadits. Ia juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
Berkat kesungguhan dan keseriusannya, Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu Hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. “Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang Hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim,” komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafiz. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli Hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy. Jejak panjang perjuangan Imam Muslim berakhir pada Ahad sore, 24 Rajab 261, ketika Sang Khaliq menghendaki dirinya menghadap. (hery)[republika.

IMAM ABU HANIFAH



Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan dengan sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M), pada masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan. Beliau digelari Abu Hanifah (suci dan lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecilnya, berakhlak mulia serta menjauhi perbuatan dosa dan keji.dan mazhab fiqhinya dinamakan Mazhab Hanafi. Gelar ini merupakan berkah dari doa Ali bin Abi Thalib r.a, dimana suatu saat ayahnya (Tsabit) diajak oleh kakeknya (Zauti) untuk berziarah ke kediaman Ali r.a yang saat itu sedang menetap di Kufa akibat pertikaian politik yang mengguncang ummat islam pada saat itu, Ali r.a mendoakan agar keturunan Tsabit kelak akan menjadi orang orang yang utama di zamannya, dan doa itu pun terkabul dengan hadirnya Imam hanafi, namun tak lama kemudian ayahnya meninggal dunia.
Pada masa remajanya, dengan segala kecemerlangan otaknya Imam Hanafi telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan hukum islam, kendati beliau anak seorang saudagar kaya namun beliau sangat menjauhi hidup yang bermewah mewah, begitu pun setelah beliau menjadi seorang pedagang yang sukses, hartanya lebih banyak didermakan ketimbang untuk kepentingan sendiri.
Disamping kesungguhannya dalam menuntut ilmu fiqh, beliau juga mendalami ilmu tafsir, hadis, bahasa arab dan ilmu hikmah, yang telah mengantarkannya sebagai ahli fiqh, dan keahliannya itu diakui oleh ulama ulama di zamannya, seperti Imam hammad bin Abi Sulaiman yang mempercayakannya untuk memberi fatwa dan pelajaran fiqh kepada murid muridnya. Keahliannya tersebut bahkan dipuji oleh Imam Syafi’i ” Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqh “. karena kepeduliannya yang sangat besar terhadap hukum islam, Imam Hanafi kemudian mendirikan sebuah lembaga yang di dalamnya berkecimpung para ahli fiqh untuk bermusyawarah tentang hukum hukum islam serta menetapkan hukum hukumnya dalam bentuk tulisan sebagai perundang undangan dan beliau sendiri yang mengetuai lembaga tersebut. Jumlah hukum yang telah disusun oleh lembaga tersebut berkisar 83 ribu, 38 ribu diantaranya berkaitan dengan urusan agama dan 45 ribu lainnya mengenai urusan dunia.
Beliau termasuk pengikut Tabiin (tabi’utabiin), sebagian ahli sejarah menyebutkan, ia bahkan termasuk Tabi’in. Beliau pernah bertemu dengan Anas bin Malik (Sahabat) dan meriwayatkan hadis terkenal, ”Mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim, ”
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai terdepan dalam “ahlu ra’y”, ulama yang baik dalam penggunaan logika sebagai dalil. Beliau adalah ahli fiqh dari penduduk Irak.Di samping sebagai ulama fiqh, Abu Hanifah berprofesi sebagai pedagang kain di Kufah. Tentang kredibelitasnya sebagai ahli fiqh, Imam Syafi’i mengatakan, ”Dalam fiqh, manusia bergantung kepada Abu Hanifah, ”. Imam Abu Hanifah menimba ilmu hadis dan fiqh dari banyak ulama terkenal. Untuk fiqh, selama 18 tahun beliau berguru kepada Hammad bin Abu Sulaiman, murid Ibrahim An Nakha’i. Abu Hanifah sangat selektif dalam menerima hadis dan lebih banyak menggunakan Qiyas dan Istihsan.Dasar madzhab Imam Abu Hanifah adalah; Al-Quran, As Sunnah, Ijma’, Qiyas, Istihsan. Dalam ilmu akidah Imam Abu Hanifah memiliki buku berjudul “Kitabul fiqhul akbar” (fiqh terbesar; akidah).

Sejarah Perkembangan Madzhab Imam Hanafi

Imam Abu Hanifah sebagai Imam Madzhab telah men-dedikasikan dirinya untuk perjuangan islam.
a). Imam Abu Hanifah r.a Ketika Menuntut Ilmu
Seperti kebiasaan ulama lainya, masa kecilnya dilalui dengan menghafal al-Qur’an kemudian beberapa hadits-hadits penting.Sedang kehidupan ilmiyahnya dimulai dengan menekuni Ilmu Kalam, mungkin dikarenakan kondisi masyarakat Irak yang saat itu banyak perbedaan dan perdebatan masalah akidah sehingga memberikan pengaruh terhadap kecenderungan Abu Hanifah muda. Namun lama-kelamaan beliau menyadari bahwa selama ini ia telah mengikuti jalan yang tidak pernah diikuti para salafuna ash-shalih dan sibuk dengan perdebatan-perdebatan yang tidak jelas manfaatnya. Inilah yang menjadi faktor asasi perubahan haluan ilmu beliau ke bidang Fiqh yang lebih nampak manfaatnya di tengah masyarakat.
Dalam belajar Fiqh, Imam Abu Hanifah mengambil Fiqh ulama Kufah dari berbagai aliran dan metode yang ada di sana, sementara sebagaimana yang kita ketahui bahwa Fiqh Kufah secara umum bermuara pada metode beberapa orang tokoh seperti Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Alqamah (murid Ibnu Mas’ud) dan Ibrahim an-Nakha’i, metode mereka itu diistilahkan dengan Fiqh al-Qiyas wa at-Takhrij. Disamping itu beliau juga sempat mendengar pengajaran ulama besar Tabi’in seperti Atha’ bin Abi Rabah, Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Hammad bin Abi Sulaiman.
Setelah beberapa lama mengembara mendengar dan belajar dari ulama-ulama Kufah, akhirnya Imam Abu Hanifah r.a mengambil sikap untuk belajar Fiqh secara khusus dari seorang ulama saja atau yang dikenal dengan istilah mulazamah, dalam hal ini beliau belajar kepada Hammad bin Abi Sulaiman r.a yang merupakan murid Alqamah bin Qais r.a (murid Ibnu Mas’ud r.a) sekitar awal abad ke dua hijriyah. Imam Hammad sendiri waktu itu adalah salah seorang ulama besar kalangan Tabi’in di Kufah.Dan disebutkan dalam banyak buku bahwa Imam Abu Hanifah selalu menyertai gurunya ini sampai akhir hayatnya, yaitu selama 18 tahun.Bahkan beliau menyamakan posisi gurunya ini dengan orang tuanya.
b). Imam Abu Hanifah Seorang Guru
Pasca meniggalnya Imam Hammad bin Abi Sulaiman pada tahun 120 H., posisinya digantikan oleh Imam Abu Hanifah. Dalam mengajar beliau sering mengemukakan hal-hal baru dan sering juga mendebat banyak pendapat, bahkan dalam mengajar tidak sekali beliau menggunakan metode diskusi dengan murid-muridnya, dan jika sebuah pembahasan sampai kepermasalahan adat, mashlahah dan masalah keadilan, semuanya terdiam. Namun di saat yang sama beliau juga dikenal sebagai seorang guru yang banyak diam, menghargai pendapat orang lain, ahli ibadah, zuhud, wara’ dan tawadhu’. Dengan demikian beliau menggabungkan dua dunia; dunia pasar dan dunia ilmu, dari dunia pasar beliau mendapatkan kekuatan berdebat dan logika, dan dari dunia ilmu beliau mendapat sinar ke-tawadhu’-an.
Dengan segala kelebihan yang dimilikinya menyebabkan banyak orang yang mengikuti majlis ilmu dan metodenya dalam Fiqh.Dan tidak sedikit juga pujian datang baik itu secara terang-terangan disampaikan kepada beliau maupun yang tidak, baik dari yang sealiran maupun tidak, dari khalifah sampai masyarakat biasa.
Dalam mengajar, metode beliau mirip dengan metode yang dipakai Socrates.Beliau tidak sekedar menyampaikan ceramah, bahkan lebih banyak mengemukakan masalah-masalah dan dilemparkan kepada murid-muridnya sembari memberikan dasar-dasar pijakan dalam menetapkan hukum, kemudian mereka berdiskusi dan berdebat bersamanya, dan di akhir beliau baru mengeluarkan pendapatnya.
Metode seperti ini tentunya hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang berjiwa besar dan memiliki kepribadian yang kuat, karena ia satu saat akan berada di posisi murid dan di saat yang lain berada di posisi guru. Dan tujuan dari metode ini adalah untuk meluaskan wawasan, menguatkan ilmu murid dan guru dalam waktu yang bersamaan.
Bagi Imam Abu Hanifah, murid-muridnya merupakan orang-orang yang paling beliau cintai, seperti hubungan bapak dengan anak. Bahkan ketika Abu Yusuf terlambat menghadiri majlis beliau karena membantu orang tuanya dalam mencari nafkah hidup, beliau panggil dan setelah mengetahui alasannya beliau tidak sungkan-sungkan memberikan 100 dirham agar Abu Yusuf tidak lari lagi dari majlis beliau, dan hal ini tidak terjadi sekali saja!.
c). Penilaian Para Ulama Terhadap Abu Hanifah
Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
1. Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dan dalam waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta, …”.

2. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”. Dan beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih”. Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya’ kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau juga berkata, “Aku dating ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “Apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya”.
3. Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”. Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”.

4. Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”
5. Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.
6. Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah swt, tidaklah kami mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapatnya”.
7. Hafsh bin Ghiyats berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam dari pada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil tentangnya”.
8. Al-Khuroibi berkata, “Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki atau orang yang jahil”.
9. Sufyan bin Uyainah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.
Beberapa penilaian negatif yang ditujukan kepada Abu Hanifah
Abu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya :
1. Imam Muslim bin Hajaj berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit shahibur ro’yi mudhtharib dalam hadits, tidak banyak hadits shahihnya”.

2. Abdul Karim bin Muhammad bin Syu’aib An-Nasai berkata, “Abu Hanifah Nu’man binTsabit tidak kuat hafalan haditsnya”.
3. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Abu Hanifah orang yang miskin di dalam hadits”.
4. Sebagian ahlul ilmi memberikan tuduhan bahwa Abu Hanifah adalah murji’ah dalam memahi masalah iman. Yaitu penyataan bahwa iman itu keyakinan yang adal dalam hati dan diucapkan dengan lesan, dan mengeluarkan amal dari hakikat iman.
Dan telah dinukil dari Abu Hanifah bahwasanya amal-amal itu tidak termasuk dari hakekat imam, akan tetapi dia termasuk dari sya’air iman, dan yang berpendapat seperti ini adalah Jumhur Asy’ariyyah, Abu Manshur Al-Maturidi  dan menyelisihi pendapat ini adalah Ahlu Haditsdan telah dinukil pula dari Abu Hanifah bahwa iman itu adalahpembenaran di dalam hati dan penetapan dengan lesan tidak bertambah dan tidak berkurang. Dan yang dimaksudkan dengan “tidak bertambah dan berkurang” adalah jumlah dan ukurannya itu tidak bertingkat-tingkat, dak hal ini tidak menafikan adanya iman itu bertingkat-tingkat dari segi kaifiyyah, seperti ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang jelas dan yang samar, dan yang semisalnya.
d). Imam Abu Hanifah Dan Ulama Yang Semasa Dengannya
Diantara ulama-ulama yang semasa dengannya di Kufah adalah Imam Sufyan ats-Tsauri r.a (ulama Hadits), Imam Syarik bin Abdillah an-Nakha’i (ulama Fiqh) dan Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila (ulama Fiqh). Hubungan antara Imam Abu Hanifah dengan mereka tidak terlalu baik, perbedaan antara Ahli Hadits dengan Ahli Ra’yi berpengaruh kepada hubungan beliau dengan Imam ats-Tsauri r.a, sedangkan dengan Imam Ibnu Abi Laila r.a, yang waktu itu menjadi Qadhi di Kufah, kurang harmonis juga karena beliau sering mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan Imam Ibnu Abi Laila r.a, sehingga kadang-kadang ada peringatan dari pemimpin negeri agar Imam Abu Hanifah tidak mengeluarkan Fatwa, sementara dengan Imam Syarik r.a ada sedikit persaingan karena satu masa. Meskipun demikian Imam Abu Hanifah r.a tetap memiliki kharisma yang tinggi di kalangan masyarakat, terbukti banyak sekali murid-muridnya yang menjadi ulama besar, Beberapa murid Imam Abu Hanifah yang terkenal:
  • Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim dari Kufah (113 – 182 H). Beliu menjadi hakim agung di masa Khalifah Harun Al-Rasyid. Beliau juga sebagai mujtahid mutlak (mujtahid yang menguasai seluruh disiplin ilmu fiqh).
  • Muhammad bin Hasan Asy Syaibani (132 – 189 H). Lahir di Damaskus (Syuriah) dan besar di Kufah dan menimbah ilmu di Baghdad. Pernah menimba ilmu kepada Abu Hanifah, kemudian Abu Yusuf. Pernah menimba ilmu kepada Imam Malik bin Anas. Ia juga termasuk mujtahid mutlak. Ia menulis kitab “dlahirur riwayah” sebagai pegangan madzhab Abu Hanifah.
  • Abu Hudzail Zufar bin Hudzail bin Qais (110 – 158 H) ia juga sebagai mujtahid mutlak.
  • Hasan bin Ziyad Al-Lu’lu’iy (w 204 H). Dalam urusan fiqh beliau belum mencapai Abu Hanifah dan dua muridnya.
e). Penyebaran Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi banyak berkembang awalnya di Baghdad dan Kuffah, namun kemudian terus meluas sampai ke daerah-daerah lain, khususnya yang pernah berada di bawah kekuasaan Abbasiyah, seperti Mesir, Syam, Tunis, Jazair, Tripoli, Yaman, India, Parsi, Romawi, Cina, Bukhara, Afghan, Turkistan bahkan Brazil. Sampai saat ini bisa dikatakan Mazhab Hanafi banyak dipakai di Irak, Syam/Syiria, India, Turkistan, negera-negara Kaukasia, Turki, Albania dan di kawasan Balkan.
Diantara poin penting yang menjadikan penyebaran Mahzab ini ke banyak negeri adalah:
1. Banyaknya murid Abu Hanifah dan perhatian mereka dalam menyebarkan dan menjelaskan pendapat-pendapat Imam mereka.
2. Mazhab Hanafi dijadikan sebagai mazhab resmi negara semasa kekuasaan Abbasiyah.
3. Pengangkatan Imam Abu Yusuf sebagai Qadhi al-Qudhah (hakim tertinggi) yang memiliki kekuatan dalam memilih qudhahi (hakim-hakim) di daerah-daerah, dan para hakim tersebut selalu memakai pendapat Imam Abu Yusuf dalam memutuskan perkara-perkara.
4. Perhatian besar ulama-ulama Mazhab ini dalam percepatan pertumbuhan Mazhab Hanafi dengan mencurahkan kemampuan mereka dalam mencari ilat hukum dan sekaligus mempraktekkannya dalam banyak masalah-masalah baru yang timbul. Hal ini menjadi Mazhab ini selalu memiliki solusi-solusi dalam setiap permasalahan.
f). Tingkatan Ahli Fiqh Mazhab Hanafi (Thabaqat Fuqaha’ al-Hanafiyah)
Mengetahui tingkatan-tingkatan dalam sebuah mazhab sangat berguna dalam bermazhab, sehingga seorang yang bermazhab bisa memposisikan dirinya dan bisa melakukan pemilihan-pemilihan (tarjih) yang benar jika terjadi pertentangan pendapat di dalam satu mazhab, karena mengikuti yang rajih (pendapat yang kuat) merupakan sebuah kemestian baik bagi mujtahid maupun muqallid, terlebih lagi dalam menghukum dan berfatwa.
Imam Muhammad bin Sulaiman (Ibnu Kamal Basya) membagi Ahli Fiqh secara umum kepada tujuh tingkatan:
1. Tingkatan Mujtahid Agama yaitu ulama yang mampu merumuskan kaedah-kaedah ushul dan mampu menetapkan hukum furu’ dari empat sumber (dalil) utama secara independen, tanpa taqlid (mengikut) kepada siapapun, seperti para imam yang empat (Imam Abu Hanifah r.a, Imam Malik r.a, Imam Syafi’i r.a dan Imam Ahmad bin Hanbal r.a).
2. Tingkatan Mujtahid Mazhab yaitu ulama yang mampu mengolah dalil-dalil dan kemudian menghasilkan hukum dengan bantuan kaedah yang telah ditetapkan guru-guru mereka, jadi meskipun di sebagian permasalahan mereka berbeda dengan sang guru, akan tetapi meereka masih mengikut (taqlid) dari sisi kaedah ushul. Dalam hal ini dalam mazhab Hanafi seperti Imam Abu Yusuf r.a, Muhammad bin Hasan r.a dan murid-murid Abu Hanifah r.a lainnya.
3. Tingkatan Mujtahid dalam permasalahan-permasalahan yang tidak ditemukan riwayat atau sumber langsung dari shahib al-madzhab (Imam Abu Hanifah r.a), namun mereka tidak mampu menyalahi pendapat Imam, baik dalam segi ushul maupun furu’, hanya saja mereka menetapkan hukum-hukum dengan menggunakan kaedah ushul yang ditetapkan Imam.Ulama tingkatan ini seperti al-Khashaf (w. 261 H), Abu Ja’far ath-Thahawi (w. 321 H), Abu al-Hasan al-Karkhi (w. 340 H), Syamsul A’immah al-Helwani (w. 448 H), Syamsul A’immah as-Sarkhasi (w. 500 H), Fakhrul Islam al-Bazdawi (w. 482 H), Fakhruddin Qadhikhan (w. 593 H) dan lain sebagainya.
4. Tingkatan Ashhab at-Takhrij dari golongan muqallidin (lawan mujtahid) yaitu ulama yang belum mampu berijtihad dalam masalah ushul, akan tetapi dengan kemampuan mereka menguasai permasalahan ushul dan kaedah ushul, mereka mampu menjelaskan ungkapan atau istilah yang bersifat umum yang memiliki beberapa kemungkinan makna dan menjelaskan hukum yang memiliki dua kemungkinan, apakah hukum ini dari shahib al-mazhab atau dari murid-muridnya, kemampuan mereka ini ditopang juga dengan kekuatan logika dan nalar mereka terhadap ushul dan kaedah-kaedah, dan kemudian mereka bisa menerapkannya ke dalam permasalahan furu’ yang semisal atau tergolong kedalam kategorinya. Ulama tingkatan ini seperti Imam Ahmad bin Ali bin Abu Bakar ar-Razi yang lebih dikenal dengan Imam Jashash, pengarang Ahkam al-Qur’an (w. 370 H)
5. Tingkatan Ashhab at-Takhrij juga, namun tingkatan ini mereka hanya baru mampu memilih-milih riwayat-riwayat/perbedaan-perbedaan pendapat yang ada, biasanya mereka sering menggunakan kata-kata hadza aula (inilah yang lebih utama), hadza ashahur riwayah (ini riwayat yang paling benar), hadza audhah (ini yang paling jelas), hadza aufaq lil qiyas (ini yang paling sesuai dengan qiyas) atau hadza arfaq lin nas (ini yang paling ringan bagi manusia). Contoh ulama Hanafi jenis ini seperti Imam Abu Hasan al-Qadduri dan Imam al-Marghinani, pengarang al-Hidayah (w. 593 H)
6. Tingkatan Pengikut (Muqallid) yang mampu membedakan antara al-aqwa (yang paling kuat), al-qawi (yang kuat), adh-dha’if (yang lemah), zhahir ar-riwayah, zhahir al-mazhab dan riwayah nadirah, biasanya mereka tidak mengutip perkataan-perkataan yang ditolak dalam mazhab dan riwayat-riwayat yang lemah. Mereka adalah ulama-lama pengarang matan yang sering dipakai di kalangan mazhab, seperti pengarang kitab al-kanz, pengarang kitab al-mukhtar, pengarang kitab al-wiqayah,dan pengarang kitab al-majma’.
7. Tingkatan Muqallid yang tidak mampu melakukan hal-hal yang di atas, dan mengenai kelompok ini Ibnu Kamal Basya mengomentari: “Celakalah siapa yang mengikuti mereka ini!”.
g). Tingkatan Jenis Permasalahan Dan Buku Referensi Dalam Mazhab Hanafi
Salah satu ciri khas mazhab Hanafi adalah dalam metode pengajaran dan penulisan buku, mereka biasa mengumpulkan masalah-masalah furu’ untuk kemudian dicarikan hukumnya dan diwariskan disetiap generasi, dari masalah-masalah itulah mereka menghasilkan kaidah-kaidah umum baik dalam bidang Ilmu Ushul maupun Ilmu Fiqh, jadi yang diwariskan dari imam-imam mereka bukanlah kaidah-kaidah yang baku sebagaimana yang lazim di mazhab lain, melainkan sekumpulan permasalahan. Inilah yang dikemudian hari menjadikan mereka membentuk satu aliran besar dalam bidang Ushul Fiqh, Aliran Hanafiyah atau Aliran Fuqaha’.Dan budaya ini juga yang menempatkan mereka sebagai perintis lahirnya Ilmu Qawaid Fiqhiyah.
Terdapat 3 jenis permasalahan yang diriwayatkan dalam buku-buku referensi mazhab Hanafi:
1. Permasalahan Zhahir ar-Riwayah (masalah asasi/ushul), yaitu masalah-masalah yang diriwayatkan dari Ashhab al-Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad) atau yang dikenal juga dengan sebutan “Ulama yang tiga”, di beberapa kesempatan kadang juga memasukkan murid-murid Abu Hanifah yang lainnya. Masalah-masalh ini dapat dijumpai dalam karangan-karangan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani seperti al-Mabsuth (al-Ashlu), az-Ziyadat, al-Jami’ ash-Shaghir, al-Jami’ al-Kabir, as-Siyar ash-Shaghir dan as-Siyar al-Kabir.Permasalahan ini disebut zhahir ar-Riwayah karena diriwayatkan dari Imam Muhammad secara yakin dan pasti, mutawatir atau paling kurang masyhur. Ada satu buku lain yang juga dikenal sebagai buku asasi yaitu buku al-Kafi karangan Imam Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi al-Balkhi, buku ini merupakan buku referensi utama dalam mazhab.
2. Permasalahan Nawadir, yaitu masalah-masalah yang diriwayatkan dari Ashhab al-Mazhab namun bukan dari buku-buku yang disebutkan di jenis pertama, bisa jadi di buku-buku karangan Imam Muhammad yang lain seperti al-Kisaniyat, al-Haruniyat, al-Jurjaniyat dan ar-Riqqiyat
3. Permasalahan al-Fatawi wa al-Waqi’at, yaitu masalah-masalah yang dihasilkan para mujtahid generasi belakangan ketika ditanya namun tidak mendapatkan jawaban pada riwayat-riwayat yang ada dari Ashhab al-Madzhab. Contoh buku-buku yang tergolong jenis ini seperti an-Nawazil karangan Abu Laits as-Samarqandi, Majmu’ an-Nawazil Wa al-Hawadits Wa al-Waqi’at karangan Ahmad bin Musa al-Kasyi, al-Waqi’at karangan Abul Abbas Ahmad bin Ahmad ar-Razi, al-Muhith karangan Radhiyuddin as-Sarkhasi dan lain-lain.
Jika terjadi pertentangan antara masalah-masalah tersebut maka didahulukanlah yang dahulu berdasarkan urutan di atas.

Pembagian jenis permasalahn tersebut sekaligus menjelaskan urutan buku dan referensi yang digunakan di dalam Mazhab Hanafi.Diantara buku-buku penting yang juga menjadi pegangan pokok seperti kitab al-Hidayah Syarh Bidayah al-Mubtadi karangan Syeikhul Islam al-Marghinani, adz-Dzakhirah al-Burhaniyah yang juga karangan beliau, dan Badai’ ash-Shanai’karangan Imam al-Kasani.Akan tetapi, disamping buku-buku diatas, masih banyak buku-buku lain yang menjadi referensi penting dalam Fiqh Hanafi, baik itu berupa mutun, mukhtashar, maupun syuruh.
h). Metode Fiqh Abu Hanifah
Adapun metodenya dalam Fiqh sebagaimana perkataan beliau sendiri: “Saya mengambil dari Kitabullah jika ada, jika tidak saya temukan saya mengambil dari Sunnah dan Atsar dari Rasulullah saw yang shahih dan saya yakini kebenarannya, jika tidak saya temukan di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, saya cari perkataan Sahabat, saya ambil yang saya butuhkan dan saya tinggalkan yang tidak saya butuhkan, kemudaian saya tidak akan mencari yang di luar perkataan mereka, jika permasalahan berujung pada Ibrahim, Sya’bi, al-Hasan, Ibnu Sirin dan Sa’id bin Musayyib (karena beliau menganggap mereka adalah mujtahid) maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”.
Metode yang dipakainya itu jika kita rincikan maka ada sekitar 7 Ushul Istinbath yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah: al-Qur’an; Sunnah, Ijma’, Perkataan Shahabat, Qiyas, Istihsan dan ‘Urf (Adat).
1. Al-Qur’an, Abu Hanifah memandang al-Qur’an sebagai sumber pertama pengambilan hukum sebagaimana imam-imam lainnya. Hanya saja beliau berbeda dengan sebagian mereka dalam menjelaskan maksud (dilalah) al-Qur’an tersebut, seperti dalam masalah mafhum mukhalafah.
2. Sunnah/Hadits, Imam Abu Hanifah juga memandang Sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an sebagaimana imam-mam yang lain. Yang berbeda adalah beliau menetapkan syarat-syarat khusus dalam penrimaan sebuah hadits (mungkin bisa dilihat di Ushul Fiqh), yang memperlihatkan bahwa Abu Hanifah bukan saja menilai sebuah hadits dari sisi Sanad (perawi), tapi juga meneliti dari sisi Matan (isi) hadits dengan membandingkannya dengan hadits-hadits lain dan kaidah-kaidah umum yang telah baku dan disepakati.
3. Ijma’, Imam Abu Hanifah mengambil Ijma’ secara mutlak tanpa memilah-milih, namun setelah meneliti kebenaran terjadinya Ijma’ tersebut.
4. Perkataan Shahabah, metode beliau adalah jika terdapat banyak perkataan Shahabah, maka beliau mengambil yang sesuai dengan ijtihadnya tanpa harus keluar dari perkataan Shahabah yang ada itu, dan jika ada beberapa pendapat dari kalangan Tabi’in beliau lebih cenderung berijtihad sendiri.
5. Qiyas, belaiu menggunakannya jika mendapatkan permasalahan yang tidak ada nash yang menunjukkan solusi permasalahan tersebut secara langsung atau tidak langsung (dilalah isyarah atau thadhammuniyah). Disinilah nampak kelebihan Imam Abu Hanifah dalam mencari sebab (ilat) hukum.
6. Istihsan, dibandingkan imam-imam yang lain, Imam Abu Hanifah adalah orang yang paling seirng menggunakan istihsan dalam menetapkan hukum.
7.Urf, dalam masalh ini Imam Abu Hanifah juga termasuk orang yang banyak memakai ‘urf dalam masalah-masalah furu’ Fiqh, terutama dalam masalah sumpah (yamin), lafaz talak, pembebasan budak, akad dan syarat.
Sifat2 Peribadi
a.Imam Abu Hanifah mempunyai ilmu pengetahuan yang amat tinggi. 
b.Beliau berani menghadapi segala bentuk cabaran untuk menegakkan  kebenaran.  
c.Beliau juga suka menghulurkan bantuan kepada sesiapa saja yang  memerlukan bantuan tanpa mengira usia, pangkat dan darjat. 
d.Imam Abu Hanifah seorang yang rajin berusaha dan bercita-cita tinggi  dalam hidupnya.
e.Beliau seorang yang bertakwa kepada Allah S.W.T., warak, qana’ah dan  tidak tamak pada harta kekayaan. 
f.Beliau juga seorang abid yang kuat beribadat dan berpegang teguh pada  ajaran Islam.
Pendidikan
a.Sejak kecil, Imam Abu Hanifah berminat mempelajari ilmu pengetahuan. 
b.Beliau sempat menuntut ilmu  dengan beberapa sahabat nabi. Antaranya  termasuklah Anas bin Malik,Abdullah bin Abi Aufa, Sahal bin Abi Saad,  Abdullah bin Al-Harith dan Abdullah bin Anas. 
c.Beliau juga menuntut ilmu daripada 200 orang ulama termasuk para  sahabat dan tabi'in.
d.Ilmu-ilmu yang dipelajarinya ialah ilmu tauhid, ilmu Al-Quran dan ilmu hadis.  Beliau juga mahir dalam bidang sastera. 
e.Imam Abu Hanifah telah berguru dengan seorang ulama iaitu Hamad bin  Sulaiman selama 20 tahun.
Selepas gurunya meninggal dunia, beliau mengambil alih tempat tersebut untuk menyebarkan ilmu kepada orang ramai.
Sumbangan dan Jasa 
a.Beliau rajin menyampaikan ilmu pengetahuan kepada orang ramai  terutamanya dalam bidang agama. 
b.Imam Abu Hanifah seorang yang pakar dalam bidang ilmu hadis sehingga  beliau dapat membezakan antara hadis yang sahih dan hadis yang tidak sahih. 
c.Beliau juga terkenal sebagai seorang ahli fikir dalam Islam kerana beliau  banyak menggunakan akal
fikiran dalam memutuskan sesuatu hukum apabila  perkara tersebut tidak terdapat dalam Al-Quran atau hadis nabi. 
d.Berbekalkan kebolehan yang di milikinya dalam menghuraikan hukum-hukum fikah, beliau menyusun ilmu tersebut sehingga menjadi bab-bab seperti yang terdapat sekarang ini. Beliau juga menyusun kitab "Al-Faraid" (harta pusaka) dengan lengkap. 
e.Antara hasil-hasil karya peninggalan Imam Abu Hanifah yang terbesar  termasuklah: 
         i.Fikah Akbar. 
         ii.Al-A'lim Wal-Mutaa'lim. 
        iii.Masnad, fikah Akbar dan lain-lain.
e.Selepas beliau wafat, mazhabnya berkembang dengan pesatnya hingga  ke Mesir, Syria, India, Pakistan China, Khurasan, Turki dan sebahagian  daripada negara Asia Tengah.
Wallahu A’lam Bisshowwaab.
daftar pustaka :
  1. Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf: Pustaka Al-Kautsar
  2. Al-khatib Al Baghdadi Ahmad Abu Bakar, Tarikhul Baghdad cetakan Dar al-Kutub Ilmiyah ;Beirut.
  3. Katsir Ibnu, Al-Bidayah wa an-Nihayah, Maktabah Darul Baz; Beirut.
  4. http://nippontori.multiply.com/reviews/item/3
  5. http://www.ustsarwat.com/search.php?id=1202422471
  6. http://ragab304.wordpress.com/2009/02/13/mazhab-hanafi/