YAKIN TIDAK DAPAT DIHILANGKAN DENGAN KEBIMBANGAN
اليقين لا يزال بالشك
BAB I
PENDAHULUAN
Keyakinan dapat diartikan sebagai satu kepastian atau
prasangka yang kuat terhadap satu hal yang dikerjakan, dan keraguan hanya
semata-mata kebimbangan tentang apakah prasangkanya sama kuat atau ada yang
lebih kuat. Dalam kehidupan sehari-hari ada Dja peristiwa yang dialami oleh
umat mengenai keragu-raguan dam menjalankan satu perkara. Misalnya dikala kita
menemukan bangkai bangkai dalam sumur yang biasa dipakai untuk bersuci dari
hadas. Sejak peristiwa penemuan bangkai tersebut terkadang kita ragu apakah bersuci
yang selama ini kita lakukan itu sah atau tidak. Oleh karena itu, dengan
melihat kejadian tersebut penyusun merasa perlu untuk membahas mengenai hal-hal
yang berkaitan dan keragu-raguan dari setiap perbuatan yang dilakukan.
Menurut hemat penulis, yang sesuai dengan peristiwa
tersebut ialah kaidah yang berkenaan dengan keyakinan dan keraguan yaitu”
Al-Yaqinu Laa yuzalu bis Syak” . kaidah
ini sangat penting untuk dipelajari, karena menurut Imam As-Suyuthi,
kaidah ini mencakup semua pembahasan dalam masalah fiqih dan masalah-masalah
yang berkaitan dengan mencapai ¾ dari subjek pembahasan fiqih.
Imam Al-Qorafi menambahkan bahwa dalam kaidah ini seluruh
umat sudah bersepakat dalam mengamalkannya dan kita harus selalu
mempelajarinya. Kemudian Imam Daqiq Al-‘Id mengisyaratkan pada setiap umat
islam untuk mengerjakan sesuatu yang sudah pasti ada dan membuat keragu-raguan,
sehingga seakan-akan para Ulama’ telah sepakat tentang keberadaan kaidah ini,
akan tetapi mereka tidak bersepakat dalam prosedur tata laksana kaidah ini.
Kaidah ini menghantarkan kepada kita kepada konsep
kemudahan demi menghilangkan yang kadang kala menimpa kita, dengan cara
menetapkan sebuah kepastian hukum dengan menolak keragu-raguan. Sebab telah
kita ketahui bersama, keragu-raguan adalah beban kesulitan, maka kita
diperintahkan untuk mengetahui hukum secara benar dan pasti sehingga terasa
mudah dan ringan dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya,
termasuk di dalamnya adalah Aqidah dan Ibadah.
B. Rumusan masalah
a. Apa pengertian Yakin dan Syak?
b. Landasan apa saja yang dipakai dalam menjelaskan Yakin dan Syak ini?
C. Apa implementasi dari kaidah tersebut?
a. Apa pengertian Yakin dan Syak?
b. Landasan apa saja yang dipakai dalam menjelaskan Yakin dan Syak ini?
C. Apa implementasi dari kaidah tersebut?
c. Tujuan penulisan
Untuk mengetahui pengertian Yakin dan Syak serta mampu mendeskripsikan
hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan dan keraguan, yakni kaidah fiqih
tentang keyakinan dan keraguan, dasar-dasar tentang keyakinan dan keraguan,
serta kaidah-kaidah lanjutannya.
BAB II
PEMBAHASAN
اليقين لا يزال بالشك
YAKIN TIDAK DAPAT DIHILANGKAN DENGAN KEBIMBANGAN
Yakin adalah sesuatu yang menjadi mantap karena pandangan
atau dengan adanya dalil. Dari penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa
seorang dapat dikatakan telah meyakini terhadap satu perkara, manakala terhadap
perkara itu telah ada bukti atau keterangan yang ditetapkan oleh pancar indera
atau pikiran. Contohnya seseorang yang merasa hadats dari wudlunya harus dapat
diyakini hadatsnya itu dengan adanya angin yang keluar yang dapat dirasakan
atau didengar suaranya oleh telinga dan dapat dicium oleh hidung.
اليقين هو ما كان
ثابتا بالنظر او الدليل
الشك هو ما كان
متردّا بين ثبوت وعدمه مع تساوى طرفى الصواب والخطاء دون ترجيح أحدهما على الآخر.
Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda,
bahkan dapat dikatakan saling berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan
keraguan akan bervariasi tergantung lemah dan kuatnya tarikan yang satu dengan
yang lain. Dan kaidah yang berkaitan dengan hal ini adalah:
اليقين لايزال
بالشّكّ
DASAR
KAIDAH
Menurut abi saskia bahwa adapun
sumber kaidah tentang keyakinan dan keraguan ini berdasarkan beberapa buah
hadits. Antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah
yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم: إذا وجد أحدكم في بطنه شيئا فأشكل عليه أخرج منه شيئ أم لا
فلايخرجنّ من المسجد حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا.
“Manakala
seseorang di antaramu menemukan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu, adakah
sesuatu yang keluar darinya atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid
sampai ia mendengar suara atau menemukan bau”.
Hadits
di atas menunjukkan adanya keraguan bagi yang sedang sholat atau menunggu
(duduk di masjid) untuk melaksanakan sholat berjama’ah. Secara logika, orang
tersebut dalam keadaan suci (sudah berwudlu). Dan orang tersebut ragu-ragu
apakah ia telah mengeluarkan angin atau tidak, maka ia harus dianggap masih
alam keadaan suci. Karena keadaan inilah yang sudah meyakinkan tentang kesucian
sejak semula, sedang keraguan baru timbul kemudian. Oleh karena itu orang
tersebut tidak perlu berwudlu lagi sebelum mendapatkan bukti berupa bunyi atau
baunya. Dan sabda Rasulullah di tempat lain berbunyi:
إذا شكّ أحدكم في
صلاته فلم يدركم صلّى أثلاثا أم أربعة فليطرح الشّكّ واليبن على ما استيقن.
Artinya: “Apabila salah seorang
di antara kamu meragukan shalatnya, lalu ia tidak mengetahui berapa raka’at yang telah ia kerjakan, tiga
atau empat, maka hendaklah dilempar yang meragukan itu dan dibinalah menurut
apa yang diyakinkan.”
(HR. Muslim)
Hadits
tersebut memberi isyarat bahwa dua buah hitungan yang diragukan mana yang
benar, agar ditetapkan hitungan yang terkecillah yang memberikan keyakinan.
Sebab dalam menghitung sebelum sampai ke hitungan yang besar pastilah melalui
hitungan yang kecil terlebih dahulu, karena yang kecil (sedikit) itulah yang meyakinkan.
Dalil akal (aqli) bagi kaidah keyakinan dan keraguan adalah bahwa
keyakinan lebih kuat daripada keraguan, karena dalam keyakinan terdapat hukum Qath’iyang
meyakinkan. Atas dasar pertimbangan itulah dapat dikatakan bahwa keyakinan
tidak dapat sirsak oleh keraguan.
Dari kaidah-kaidah yang merupakan
garis besar ini dapat dibentuk kaidah-kaidah yang lebih khusus yang pada
dasarnya tidak menyimpang dari kaidah pokok ini. [4]Berikut
ini merupakan kaidah-kaidah lanjutan dari kaidah dasar di atas:
a. الأصل بقاء ما كان على ما كان
“Yang jadi pokok adalah tetapnya sesuatu pada keadaan semula”
Contoh: Seseorang mempunyai wudlu, lalu ia ragu sudah batalkah atau belum, maka hukumnya ia tetap mempunyai wudlu.
b. الأصل براءة الذّمّة
“Yang jadi patokan adalah bebas dari tanggungan”
Contoh:A mengadukan B, bahwa B berhutang Rp.1.000,- kepadanya, tetapi pengaduan itu tidak disertai dengan bukti maupun saksi, sedang B (yang diadukan) menyangkal dan mengatakan bahwa ia tidak merasa berhutang. Maka menurut hukum, pengaduan A tertolak berdasarkan kaidah ini.
c. من شكّ هل فعل شيئا أولا؟ فالأصل أنّه لم يَفعَله
“Jika ada orang ragu , apakah ia sudah mengerjakan sesuatu atau belum, maka ia dianggap belum berbuat”
Contoh:A mengadukan bahwa B berhutang Rp.1.000,- kepadanya. Lalu di depan pengadilan terjadilah dialog seperti ini:
Hakim : B! Benarkah kau berhutang Rp.1.000,- kepada A?
B : Benar, tapi sudah saya lunasi.
Hakim : Apakah kau punya tanda bukti pembayaran hutang?
B : Tidak
Hakim : A!, kata B hutangnya kepadamu sudah dibayar. Apakah benar?
A : Belum!
Maka berdasarkan kaidah ini, Hakim memutuskan, bahwa hutang B kepada A belum terlunasi.
d. من تيقّن الفعل وشكّ في القليل أو الكثير حمل على الكثير
“Jika seseorang telah yakin berbuat (sesuatu), tetapi ia ragu tentang banyak sedikitnya, maka yang dihitung adalah yang sedikit.”
Contoh: Seseorang sedang tengah-tengah sholat Dhuhur merasa ragu, apakah yang dikerjakannya empat raka’at, atau baru tiga raka’at. Berdasarkan kaidah ini, yang dihitung adalah tiga raka’at dan ia harus menambah satu raka’at lagi.
e. الأصل العدم
“Asal (di dalam hak) itu tidak ada.”
Contoh :A menyerahkan Rp.1.000,- kepada B, untuk digunakan sebagai modal, dengan perjanjian keuntungan dibagi dua. Selang beberapa lama, A menuduh bahwa B telah memperoleh keuntungan dari uang modal tersebut, tetapi B menyangkal tuduhan itu. Berdasarkan kaidah ini, yang dibenarkan adalah B yang menyatakan tidak/belum ada keuntungan.
f. الأصل في كلّ حادث تقديره بأقرب زمن
“Tiap-tiap yang baru itu harus dikira-kirakan kepada masa yang lebih dekat.”
Contoh:Seseorang melihat bekas mani pada sarung yang dipakainya. Ia ragu mani kemarinkah yang karenanya ia telah mandi atau mani baru setelah ia bangun tidur tadi. Berdasarkan kaidah ini, diputuskan bahwa mani itu adalah baru dan bukan kemarin.
g. الأصل في الأشياء الإباحة حتّى يدلّ الدّليل على التّحريم
“Segala sesuatu yang pada dasarnya boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Ini menurut mazhab Syafi’i, sedang menurut mazhab Hanafi sebaliknya, yakni:
a. الأصل بقاء ما كان على ما كان
“Yang jadi pokok adalah tetapnya sesuatu pada keadaan semula”
Contoh: Seseorang mempunyai wudlu, lalu ia ragu sudah batalkah atau belum, maka hukumnya ia tetap mempunyai wudlu.
b. الأصل براءة الذّمّة
“Yang jadi patokan adalah bebas dari tanggungan”
Contoh:A mengadukan B, bahwa B berhutang Rp.1.000,- kepadanya, tetapi pengaduan itu tidak disertai dengan bukti maupun saksi, sedang B (yang diadukan) menyangkal dan mengatakan bahwa ia tidak merasa berhutang. Maka menurut hukum, pengaduan A tertolak berdasarkan kaidah ini.
c. من شكّ هل فعل شيئا أولا؟ فالأصل أنّه لم يَفعَله
“Jika ada orang ragu , apakah ia sudah mengerjakan sesuatu atau belum, maka ia dianggap belum berbuat”
Contoh:A mengadukan bahwa B berhutang Rp.1.000,- kepadanya. Lalu di depan pengadilan terjadilah dialog seperti ini:
Hakim : B! Benarkah kau berhutang Rp.1.000,- kepada A?
B : Benar, tapi sudah saya lunasi.
Hakim : Apakah kau punya tanda bukti pembayaran hutang?
B : Tidak
Hakim : A!, kata B hutangnya kepadamu sudah dibayar. Apakah benar?
A : Belum!
Maka berdasarkan kaidah ini, Hakim memutuskan, bahwa hutang B kepada A belum terlunasi.
d. من تيقّن الفعل وشكّ في القليل أو الكثير حمل على الكثير
“Jika seseorang telah yakin berbuat (sesuatu), tetapi ia ragu tentang banyak sedikitnya, maka yang dihitung adalah yang sedikit.”
Contoh: Seseorang sedang tengah-tengah sholat Dhuhur merasa ragu, apakah yang dikerjakannya empat raka’at, atau baru tiga raka’at. Berdasarkan kaidah ini, yang dihitung adalah tiga raka’at dan ia harus menambah satu raka’at lagi.
e. الأصل العدم
“Asal (di dalam hak) itu tidak ada.”
Contoh :A menyerahkan Rp.1.000,- kepada B, untuk digunakan sebagai modal, dengan perjanjian keuntungan dibagi dua. Selang beberapa lama, A menuduh bahwa B telah memperoleh keuntungan dari uang modal tersebut, tetapi B menyangkal tuduhan itu. Berdasarkan kaidah ini, yang dibenarkan adalah B yang menyatakan tidak/belum ada keuntungan.
f. الأصل في كلّ حادث تقديره بأقرب زمن
“Tiap-tiap yang baru itu harus dikira-kirakan kepada masa yang lebih dekat.”
Contoh:Seseorang melihat bekas mani pada sarung yang dipakainya. Ia ragu mani kemarinkah yang karenanya ia telah mandi atau mani baru setelah ia bangun tidur tadi. Berdasarkan kaidah ini, diputuskan bahwa mani itu adalah baru dan bukan kemarin.
g. الأصل في الأشياء الإباحة حتّى يدلّ الدّليل على التّحريم
“Segala sesuatu yang pada dasarnya boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Ini menurut mazhab Syafi’i, sedang menurut mazhab Hanafi sebaliknya, yakni:
الأصل في الأشياء التّحريم حتّى يدلّ الدليل على الإباحة
“Segala sesuatu itu pada dasarnya haram, kecuali bila ada
dalil yang memperbolehkannya.” Imam Syafi’i berpendapat : “Allah itu maha bijaksana, jadi mustahillah
Allah menciptakan sesuatu, lalu mengharamkan atas hamba-Nya.”
Beliau berpegang kepada dalil:
a)
Sabda Rasulullah SAW
ما أحلّ الله فهو
حلال وما حرّم الله فهو حرام وما سكّتا عنه فهو عفو
“Apa yang dihalalkan oleh Allah adalah halal dan apa yang
diharamkan-Nya adalah haram, sedangkan apa yang didiamkan adalah dimaafkan.”
b)
Firman Allah
خلق لكم ما في الأرض جميعا
“Allah menciptakan bagi kalian apa
yang ada di bumi seluruhnya.”
Imam Abu Hanifah berkata bahwa, “Memang Allah maha
bijaksana, tetapi bagaimanapun segala sesuatu itu adalah milik Allah SWT
sendiri. Jadi kita tidak boleh menggunakannya sebelum ada izin dari Allah.”’
Beliau berpedoman pada firman Allah SWT:
لله ما في السموات وما في الأرض
“Adalah milik Allah segala apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi.”
Contoh:
Ada seekor binatang yang kita belum
dapat mengetahui tentang halal/haramnya. Menurut Imam Syafi’i halal, sedangkan
Imam Hanafi mengharamkannya.
Perbedaan antara Imam Syafi’i dan
Imam Hanafi dalam hal ini, pengecualian masalah-masalah yang ada hubungannya
dengan farji. Dalam perkara satu ini, ke dua beliau sepakat menghukuminya
haram.
Misalnya:
Di dalam sebuah desa ada sepuluh
orang perempuan, satu di antaranya, diketahui ada hubungan mahram dengan A
(laki-laki) tetapi ia belum/tidak tahu yang manakah Siantar sepuluh perempuan
itu yang ada hubungan mahram dengannya. Maka menurut hukum, ke sepuluh
perempuan tersebut tidak boleh dinikahi (oleh A) salah satunya.
h.
الأصل في الكلام الحقيقة
“Ucapan itu asalnya adalah haqiqah.”
Jadi kalau ada ucapan yang bisa diartikan haqiqah dan
dapat pula diartikan majas/kiasan, maka ucapan itu harus diartikan secara
haqiqah.
Contoh:
Seseorang bersumpah : “Demi Allah, saya tidak akan
membeli baju.” Lalu ia menyuruh orang lain untuk membelikan baginya, maka
menurut kaidah ini, orang tersebut dianggap tidak melanggar sumpah.
i.
إذا تعارض الأصل والظّاهر
“Kalau terjadi pertentangan antara Asal dan Dzahir.”
a)
Ditafshil, adakalanya Asal yang
dimenangkan dan ada kalanya Dzahir yang dimenangkan.
Contoh:
1.
Piring milik China kafir, hukumnya
tetap suci, sebab asalnya memang suci, meskipun ada dzahirnya mungkin pernah
digunakan sebagai wadah/tempat makanan dari daging babi.
2.
A melakukan jual beli dengan B.
Kemudian as mengatakan, bahwa jual beli itu tidak sah, sedangkan B
menganggapnya sah. Yang dibenarkan adalah B yang mengatakan jual beli sah,
meskipun asalnya (yaitu A) menganggap tidak sah.
3.
Suami istri telah tinggal dalam satu
atap. Istri mengaku sudah digauli, sedang suami berkata belum. Kalau kita
berpegang kepada asal, maka yang dibenarkan adalah suami dan jika kita
berpegang kepada Dzahir, maka yang benar adalah Istri. Dalam hal ini ulama’ berselisih
pendapat.
b)
Manakala Dzahir bertentangan dengan
Asal, padahal Dzahir dikuatkan dengan landasan yang menurut Syarak dapat
dibenarkan, atau Dzahir itu dikuatkan oleh satu sebab atau kebiasaan/adat, maka
Dzahir harus dimenangkan.
Contoh:
1.
Air satu blik berada di tempat yang
pada galibnya bisa terkena najis. Lalu ada orang bilang: “Tadi ada seorang anak
yang kencing berdiri di dekat air itu, mungkin air itu kecipratan najis.”
Berdasarkan kaidah ini, Dzahir air terkena najis dimenangkan.
2.
Bila ada seekor kambing kencing
dekat air, air itu mungkin kecipratan dan mungkin tidak, tetapi pada
kenyataannya, air berubah, maka Dzahir – air kena najis – dimenangkan.
c)
Apabila Asal dan Dzahir bertentangan, padahal sebab-sebab
kemungkinannya lemah, maka yang dimenangkan adalah Asal.
Pakaian pembuat arak Asalnya adalah suci. Boleh jadi
pakaian itu terkena arak, tetapi kemungkinannya lemah sekali, maka pakaian
tersebut tetap suci.
d)
Kalau Asal bertentangan dengan
Dzahir dan Dzahir lebih kuat, maka Dzahirlah yang dimenangkan.
Contoh:
Seseorang shalat. Setelah salam, ia bimbang tentang
apakah ia tidak meninggalkan salah satu rukun selain niat dan takbiratul ihram.
Ia tidak wajib mengulang shalatnya.
e)
Apabila Asal bertentangan dengan
kemungkinan-kemungkinan, maka Asal tetap dimenangkan.
Contoh:
Seseorang sedang melaksanakan shalat Dzuhur dan ia yakin,
bahwa ia sudah mengerjakan tiga raka’at tetapi mungkin juga empat raka’at.
Berdasarkan kaidah ini, shalat orang
itu dihitung tiga raka’at.
j.
إذا تعارض الأصلان
“Apabila ada dua asal yang saling bertentangan.” Maka :
a)
Yang lebih kuat harus dimenangkan
Dan tentu saja, hal ini membutuhkan penguat, baik berupa
Dzahir maupun yang lain.
Contoh:
Seorang pria
dan seorang wanita telah bertahun-tahun menjadi Suami istri. Kemudian terjadi
perkara tuduh menuduh. Istri mengatakan, bahwa selama ini Suaminya belum pernah
menggaulinya, sebab impoten, sedang suami menyatakan sudah menggauli istri
yaitu di masa-masa sebelum impoten.
Dalam masalah ini, terdapat dua Asal yang saling
bertentangan, yakni:
1.
“Menggauli” Asalnya adalah “Belum
menggauli.”
2.
“Impotent” Asalnya asalah “Tidak
Impotent”
Yang
dimenangkan adalah suami, sebab Asal tidak impotent lebih kuat, dikuatkan oleh
lamanya mereka bergaul/berkumpul sebagai suami istri.
b)
Jika dua Asal yang saling
bertentangan tersebut, masing-masing tidak mempunyai penguat maka Ulama tetap
berselisih pendapat.
Contoh:
Seseorang
berpuasa dan yakin sudah niat, tetapi ragu apakah niat itu dilakukan sebelum
fajar ataukah sesudah fajar?
Karena dua Asal yang saling bertentangan ini
masing-masing tidak mempunyai penguat, maka Ulama berbeda pendapat:
1.
mengatakan bahwa, puasa itu tidak sah sebab
niat itu Asalnya adalah “tidak sah.”
2.
Ulama lain berpendapat bahwa, puasa
itu sah, sebab sesudah fajar, Asalnya adalah “sebelum fajar.”
k.
والظّاهران ربمّا تعارض وهو قليل
“Dzahir itu kadang-kadang juga bertentangan dengan Dzahir
lain, meskipun jarang terjadi.”
Contoh:
Sepasang lelaki dan perempuan tertangkap basah di sebuah
hotel. Keadaan si Lelaki kelihatan jauh lebih muda dibandingkan dengan
perempuan. Pada waktu diperiksa, yang perempuan mengatakan, bahwa lelaki itu
adalah suaminya yang sah dan si Lelaki itupun membenarkan.
Dalam hal ini, menurut Qoul jadi: ikrar serta pembenarannya dapat diterima,
tetapi menurut Qoul Qodim: tidak dapat diterima, sebab keadaannya meragukan.
Jadi untuk menerima ikrar serta pembenarannya tersebut, harus ada saksi.
Macam-macam syak (ragu)
aa. Syak atas Asal
yang haram
Misalnya: Ada
seekor kambing disembelih di daerah yang berpenduduk campuran antara Muslimin
dan Majusi. Kambing tersebut hukumnya tidak halal, sebab Asalnya haram.
bb. Syak atas Asal
yang mubah
Misalnya: Ada
air berubah, yang mungkin disebabkan oleh najis dan mungkin pula karena terlalu
lama tergenang. Menurut hukum, air tersebut dapat digunakan, sebab Asalnya
memang air itu suci.
cc. Syak atas
sesuatu yang tidak diketahui asalnya
Misalnya: A
berhubungan kerja dengan orang yang sebagian besar uangnya adalah uang haram.
Hukumnya boleh, sebab tidak dapat diketahui Diana uang itu (yang digunakan
untuk muamalah) berasal.
a. Syak (ragu) dan
Dhan (sangkaan) itu pengaruhnya dalam hukum sama.
Misalnya:
Seseorang bertamu ke rumah temannya. Sampai di sana rumah tertutup, lalu timbul
dalam pikirannya “Teman ini, boleh jadi pergi dan mungkin malahan sedang
tidur”, ini namanya Syak, “Tetapi kemungkinan besar ia masih berada di rumah
sebab kendaraannya masih ada”. Ini yang namanya Dhan.
b. Kaidah اليقين لايزال بالشّكّ
ini mempunyai bandingan, yakniاليقين قد يزال بالشّكّ .
“Yakin itu
terkadang hilang sebab bimbang.”
Tetapi kaidah
ini hanya berlaku pada beberapa masalah, bahkan Syaikh Abul ‘Abbas Ahmad bin
Al-Qash membatasi kaidah ini hanya pada sebelas masalah, sedang Imam Nawawiy
menambahkan dengan beberapa masalah, begitu pula Imam Subkiy.
Contoh: Orang-orang
akan melakukan shalat Jum’at, tetapi mereka merasa ragu, apakah waktu Jum’at
masih ataukah sudah habis? Maka berdasarkan kaidah ini, mereka harus sholat
Dhuhur saja.
BAB III
PENUTUP
Manusia menuju kunci kesuksesan dan keberhasilan
menggapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat, karena keyakinan merupakan
sugesti yang sangat kuat untuk mempengaruhi dalam setiap langkah yang akan
dilalui oleh manusia.Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang sangat
berbeda, bahkan dapat dikatakan saling berlawanan. Hanya saja besar kecilnya
keyakinan dan keraguan akan bervariasi tergantung pada lemah kuatnya tarikan
yang satu dengan yang lain.Dalil Aqli (akal) bagi kaidah keyakinan dan keraguan
adalah bahwa keyakinan lebih kuat dari pada keraguan, karena di dalam keyakinan
terdapat hukum Qath’i yang meyakinkan. Atas dasar pertimbangan itulah
dapat dikatakan bahwa keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan
kebimbangan/keraguan
DAFTAR
RUJUKAN
Jumantoro, Toto. dan Amin, Syamsul Munir. 2004. Kamus
Ilmu Ushul Fiqih. Yogyakarta: Hamzah.
http://fikihilmiah.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar