Translate

Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Yakin tidak Dapat Dihilangkan Dengan Kebimbangan

Yakin tidak Dapat Dihilangkan Dengan Kebimbangan

YAKIN TIDAK DAPAT DIHILANGKAN DENGAN KEBIMBANGAN

اليقين لا يزال بالشك


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Keyakinan dapat diartikan sebagai satu kepastian atau prasangka yang kuat terhadap satu hal yang dikerjakan, dan keraguan hanya semata-mata kebimbangan tentang apakah prasangkanya sama kuat atau ada yang lebih kuat. Dalam kehidupan sehari-hari ada Dja peristiwa yang dialami oleh umat mengenai keragu-raguan dam menjalankan satu perkara. Misalnya dikala kita menemukan bangkai bangkai dalam sumur yang biasa dipakai untuk bersuci dari hadas. Sejak peristiwa penemuan bangkai tersebut terkadang kita ragu apakah bersuci yang selama ini kita lakukan itu sah atau tidak. Oleh karena itu, dengan melihat kejadian tersebut penyusun merasa perlu untuk membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dan keragu-raguan dari setiap perbuatan yang dilakukan.
Menurut hemat penulis, yang sesuai dengan peristiwa tersebut ialah kaidah yang berkenaan dengan keyakinan dan keraguan yaitu” Al-Yaqinu Laa yuzalu bis Syak” . kaidah  ini sangat penting untuk dipelajari, karena menurut Imam As-Suyuthi, kaidah ini mencakup semua pembahasan dalam masalah fiqih dan masalah-masalah yang berkaitan dengan mencapai ¾ dari subjek pembahasan fiqih.
Imam Al-Qorafi menambahkan bahwa dalam kaidah ini seluruh umat sudah bersepakat dalam mengamalkannya dan kita harus selalu mempelajarinya. Kemudian Imam Daqiq Al-‘Id mengisyaratkan pada setiap umat islam untuk mengerjakan sesuatu yang sudah pasti ada dan membuat keragu-raguan, sehingga seakan-akan para Ulama’ telah sepakat tentang keberadaan kaidah ini, akan tetapi mereka tidak bersepakat dalam prosedur tata laksana kaidah ini.
Kaidah ini menghantarkan kepada kita kepada konsep kemudahan demi menghilangkan yang kadang kala menimpa kita, dengan cara menetapkan sebuah kepastian hukum dengan menolak keragu-raguan. Sebab telah kita ketahui bersama, keragu-raguan adalah beban kesulitan, maka kita diperintahkan untuk mengetahui hukum secara benar dan pasti sehingga terasa mudah dan ringan dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, termasuk di dalamnya adalah Aqidah dan Ibadah.
B. Rumusan masalah 
a. Apa pengertian Yakin dan Syak?
b. Landasan apa saja yang dipakai dalam menjelaskan Yakin dan Syak ini? 
C.  Apa implementasi dari kaidah tersebut?
c. Tujuan penulisan
Untuk mengetahui pengertian Yakin dan Syak serta mampu mendeskripsikan hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan dan keraguan, yakni kaidah fiqih tentang keyakinan dan keraguan, dasar-dasar tentang keyakinan dan keraguan, serta kaidah-kaidah lanjutannya.


BAB II
PEMBAHASAN
 اليقين لا يزال بالشك
YAKIN TIDAK DAPAT DIHILANGKAN DENGAN KEBIMBANGAN

        Yakin adalah sesuatu yang menjadi mantap karena pandangan atau dengan adanya dalil. Dari penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa seorang dapat dikatakan telah meyakini terhadap satu perkara, manakala terhadap perkara itu telah ada bukti atau keterangan yang ditetapkan oleh pancar indera atau pikiran. Contohnya seseorang yang merasa hadats dari wudlunya harus dapat diyakini hadatsnya itu dengan adanya angin yang keluar yang dapat dirasakan atau didengar suaranya oleh telinga dan dapat dicium oleh hidung.
اليقين هو ما كان ثابتا بالنظر او الدليل
                   Sedangkan Syak adalah sesuatu yang berada antara ketetapan dan ketidak tetapan Diana pertentangan tersebut berada dalam posisi yang sama matra batas kebenaran dan kesalahan, tanpa dapat dikuatkan salah satunya.
الشك هو ما كان متردّا بين ثبوت وعدمه مع تساوى طرفى الصواب والخطاء دون ترجيح أحدهما على الآخر.
Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda, bahkan dapat dikatakan saling berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan keraguan akan bervariasi tergantung lemah dan kuatnya tarikan yang satu dengan yang lain. Dan kaidah yang berkaitan dengan hal ini adalah:
اليقين لايزال بالشّكّ
Keyakinan tidak dapat  dihilangkan dengan kebimbangan

DASAR KAIDAH
         Menurut abi saskia bahwa adapun sumber kaidah tentang keyakinan dan keraguan ini berdasarkan beberapa buah hadits. Antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا وجد أحدكم في بطنه شيئا فأشكل عليه أخرج منه شيئ أم لا فلايخرجنّ من المسجد حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا.
“Manakala seseorang di antaramu menemukan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu, adakah sesuatu yang keluar darinya atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia mendengar suara atau menemukan bau”.
            Hadits di atas menunjukkan adanya keraguan bagi yang sedang sholat atau menunggu (duduk di masjid) untuk melaksanakan sholat berjama’ah. Secara logika, orang tersebut dalam keadaan suci (sudah berwudlu). Dan orang tersebut ragu-ragu apakah ia telah mengeluarkan angin atau tidak, maka ia harus dianggap masih alam keadaan suci. Karena keadaan inilah yang sudah meyakinkan tentang kesucian sejak semula, sedang keraguan baru timbul kemudian. Oleh karena itu orang tersebut tidak perlu berwudlu lagi sebelum mendapatkan bukti berupa bunyi atau baunya. Dan sabda Rasulullah di tempat lain berbunyi:
إذا شكّ أحدكم في صلاته فلم يدركم صلّى أثلاثا أم أربعة فليطرح الشّكّ واليبن على ما استيقن.
Artinya: “Apabila salah seorang di antara kamu meragukan shalatnya, lalu ia tidak mengetahui  berapa raka’at yang telah ia kerjakan, tiga atau empat, maka hendaklah dilempar yang meragukan itu dan dibinalah menurut apa yang diyakinkan.
(HR. Muslim)
            Hadits tersebut memberi isyarat bahwa dua buah hitungan yang diragukan mana yang benar, agar ditetapkan hitungan yang terkecillah yang memberikan keyakinan. Sebab dalam menghitung sebelum sampai ke hitungan yang besar pastilah melalui hitungan yang kecil terlebih dahulu, karena yang kecil (sedikit) itulah yang meyakinkan. Dalil akal (aqli) bagi kaidah keyakinan dan keraguan adalah bahwa keyakinan lebih kuat daripada keraguan, karena dalam keyakinan terdapat hukum Qath’iyang meyakinkan. Atas dasar pertimbangan itulah dapat dikatakan bahwa keyakinan tidak dapat sirsak oleh keraguan.
Dari kaidah-kaidah yang merupakan garis besar ini dapat dibentuk kaidah-kaidah yang lebih khusus yang pada dasarnya tidak menyimpang dari kaidah pokok ini. [4]Berikut ini merupakan kaidah-kaidah lanjutan dari kaidah dasar di atas: 
a.       الأصل بقاء ما كان على ما كان 
“Yang jadi pokok adalah tetapnya sesuatu pada keadaan semula”
Contoh: Seseorang mempunyai wudlu, lalu ia ragu sudah batalkah atau belum, maka hukumnya ia tetap mempunyai wudlu. 
b.      الأصل براءة الذّمّة 
“Yang jadi patokan adalah bebas dari tanggungan”
Contoh:A mengadukan B, bahwa B berhutang Rp.1.000,- kepadanya, tetapi pengaduan itu tidak disertai dengan bukti maupun saksi, sedang B (yang diadukan) menyangkal dan mengatakan bahwa ia tidak merasa berhutang. Maka menurut hukum, pengaduan A tertolak berdasarkan kaidah ini. 
c.       من شكّ هل فعل شيئا أولا؟ فالأصل أنّه لم يَفعَله 
“Jika ada orang ragu , apakah ia sudah mengerjakan sesuatu atau belum, maka ia dianggap belum berbuat” 
Contoh:A mengadukan bahwa B berhutang Rp.1.000,- kepadanya. Lalu di depan pengadilan terjadilah dialog seperti ini:
Hakim : B! Benarkah kau berhutang Rp.1.000,- kepada A?
B         : Benar, tapi sudah saya lunasi.
Hakim : Apakah kau punya tanda bukti pembayaran hutang?
B         : Tidak
Hakim : A!, kata B hutangnya kepadamu sudah dibayar. Apakah benar?
A         : Belum!
Maka berdasarkan kaidah ini, Hakim memutuskan, bahwa hutang B kepada A belum terlunasi. 
d.      من تيقّن الفعل وشكّ في القليل أو الكثير حمل على الكثير 
“Jika seseorang telah yakin berbuat (sesuatu), tetapi ia ragu tentang banyak sedikitnya, maka yang dihitung adalah yang sedikit.” 
Contoh: Seseorang sedang tengah-tengah sholat Dhuhur merasa ragu, apakah yang dikerjakannya empat raka’at, atau baru tiga raka’at. Berdasarkan kaidah ini, yang dihitung adalah tiga raka’at  dan ia harus menambah satu raka’at lagi. 
e.       الأصل العدم 
“Asal (di dalam hak) itu tidak ada.” 
Contoh :A menyerahkan Rp.1.000,- kepada B, untuk digunakan sebagai modal, dengan perjanjian keuntungan dibagi dua. Selang beberapa lama, A menuduh bahwa B telah memperoleh keuntungan dari uang modal tersebut, tetapi B menyangkal tuduhan itu. Berdasarkan kaidah ini, yang dibenarkan adalah B yang menyatakan tidak/belum ada keuntungan. 
f.       الأصل في كلّ حادث تقديره بأقرب زمن 
“Tiap-tiap yang baru itu harus dikira-kirakan kepada masa yang lebih dekat.” 
Contoh:Seseorang melihat bekas mani pada sarung yang dipakainya. Ia ragu mani kemarinkah yang karenanya ia telah mandi atau mani baru setelah ia bangun tidur tadi. Berdasarkan kaidah ini, diputuskan bahwa mani itu adalah baru dan bukan kemarin. 
g.      الأصل في الأشياء الإباحة حتّى يدلّ الدّليل على التّحريم 
“Segala sesuatu yang pada dasarnya boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Ini menurut mazhab Syafi’i, sedang menurut mazhab Hanafi sebaliknya, yakni:
الأصل في الأشياء التّحريم حتّى يدلّ الدليل على الإباحة 
“Segala sesuatu itu pada dasarnya haram, kecuali bila ada dalil yang memperbolehkannya.” Imam Syafi’i berpendapat :  “Allah itu maha bijaksana, jadi mustahillah Allah menciptakan sesuatu, lalu mengharamkan atas hamba-Nya.”
Beliau berpegang kepada dalil:

a)      Sabda Rasulullah SAW
ما أحلّ الله فهو حلال وما حرّم الله فهو حرام وما سكّتا عنه فهو عفو
“Apa yang dihalalkan oleh Allah adalah halal dan apa yang diharamkan-Nya adalah haram, sedangkan apa yang didiamkan adalah dimaafkan.”
b)      Firman Allah
خلق لكم ما في الأرض جميعا
“Allah menciptakan bagi kalian apa yang ada di bumi seluruhnya.”
Imam Abu Hanifah berkata bahwa, “Memang Allah maha bijaksana, tetapi bagaimanapun segala sesuatu itu adalah milik Allah SWT sendiri. Jadi kita tidak boleh menggunakannya sebelum ada izin dari Allah.”’
Beliau berpedoman pada firman Allah SWT:
لله ما في السموات وما في الأرض
“Adalah milik Allah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.”
Contoh:
Ada seekor binatang yang kita belum dapat mengetahui tentang halal/haramnya. Menurut Imam Syafi’i halal, sedangkan Imam Hanafi mengharamkannya.
Perbedaan antara Imam Syafi’i dan Imam Hanafi dalam hal ini, pengecualian masalah-masalah yang ada hubungannya dengan farji. Dalam perkara satu ini, ke dua beliau sepakat menghukuminya haram.
Misalnya:
Di dalam sebuah desa ada sepuluh orang perempuan, satu di antaranya, diketahui ada hubungan mahram dengan A (laki-laki) tetapi ia belum/tidak tahu yang manakah Siantar sepuluh perempuan itu yang ada hubungan mahram dengannya. Maka menurut hukum, ke sepuluh perempuan tersebut tidak boleh dinikahi (oleh A) salah satunya.
h.      الأصل في الكلام الحقيقة
“Ucapan itu asalnya adalah haqiqah.”
Jadi kalau ada ucapan yang bisa diartikan haqiqah dan dapat pula diartikan majas/kiasan, maka ucapan itu harus diartikan secara haqiqah.
Contoh:
Seseorang bersumpah : “Demi Allah, saya tidak akan membeli baju.” Lalu ia menyuruh orang lain untuk membelikan baginya, maka menurut kaidah ini, orang tersebut dianggap tidak melanggar sumpah.
i.        إذا تعارض الأصل والظّاهر
“Kalau terjadi pertentangan antara Asal dan Dzahir.”
a)      Ditafshil, adakalanya Asal yang dimenangkan dan ada kalanya Dzahir yang dimenangkan.
Contoh:
1.      Piring milik China kafir, hukumnya tetap suci, sebab asalnya memang suci, meskipun ada dzahirnya mungkin pernah digunakan sebagai wadah/tempat makanan dari daging babi.
2.      A melakukan jual beli dengan B. Kemudian as mengatakan, bahwa jual beli itu tidak sah, sedangkan B menganggapnya sah. Yang dibenarkan adalah B yang mengatakan jual beli sah, meskipun asalnya (yaitu A) menganggap tidak sah.
3.      Suami istri telah tinggal dalam satu atap. Istri mengaku sudah digauli, sedang suami berkata belum. Kalau kita berpegang kepada asal, maka yang dibenarkan adalah suami dan jika kita berpegang kepada Dzahir, maka yang benar adalah Istri. Dalam hal ini ulama’ berselisih pendapat.
b)      Manakala Dzahir bertentangan dengan Asal, padahal Dzahir dikuatkan dengan landasan yang menurut Syarak dapat dibenarkan, atau Dzahir itu dikuatkan oleh satu sebab atau kebiasaan/adat, maka Dzahir harus dimenangkan.
Contoh:
1.      Air satu blik berada di tempat yang pada galibnya bisa terkena najis. Lalu ada orang bilang: “Tadi ada seorang anak yang kencing berdiri di dekat air itu, mungkin air itu kecipratan najis.” Berdasarkan kaidah ini, Dzahir air terkena najis dimenangkan.
2.      Bila ada seekor kambing kencing dekat air, air itu mungkin kecipratan dan mungkin tidak, tetapi pada kenyataannya, air berubah, maka Dzahir – air kena najis – dimenangkan.
c)      Apabila Asal dan Dzahir  bertentangan, padahal sebab-sebab kemungkinannya lemah, maka yang dimenangkan adalah Asal.
Pakaian pembuat arak Asalnya adalah suci. Boleh jadi pakaian itu terkena arak, tetapi kemungkinannya lemah sekali, maka pakaian tersebut tetap suci.
d)     Kalau Asal bertentangan dengan Dzahir dan Dzahir lebih kuat, maka Dzahirlah yang dimenangkan.
Contoh:
Seseorang shalat. Setelah salam, ia bimbang tentang apakah ia tidak meninggalkan salah satu rukun selain niat dan takbiratul ihram.
Ia tidak wajib mengulang shalatnya.
e)      Apabila Asal bertentangan dengan kemungkinan-kemungkinan, maka Asal tetap dimenangkan.
Contoh:
Seseorang sedang melaksanakan shalat Dzuhur dan ia yakin, bahwa ia sudah mengerjakan tiga raka’at tetapi mungkin juga empat raka’at.
Berdasarkan kaidah ini, shalat orang itu dihitung tiga raka’at.

j.        إذا تعارض الأصلان
“Apabila ada dua asal yang saling bertentangan.” Maka :
a)      Yang lebih kuat harus dimenangkan
Dan tentu saja, hal ini membutuhkan penguat, baik berupa Dzahir maupun yang lain.
Contoh:
Seorang pria dan seorang wanita telah bertahun-tahun menjadi Suami istri. Kemudian terjadi perkara tuduh menuduh. Istri mengatakan, bahwa selama ini Suaminya belum pernah menggaulinya, sebab impoten, sedang suami menyatakan sudah menggauli istri yaitu di masa-masa sebelum impoten.
Dalam masalah ini, terdapat dua Asal yang saling bertentangan, yakni:
1.      “Menggauli” Asalnya adalah “Belum menggauli.”
2.      “Impotent” Asalnya asalah “Tidak Impotent”
Yang dimenangkan adalah suami, sebab Asal tidak impotent lebih kuat, dikuatkan oleh lamanya mereka bergaul/berkumpul sebagai suami istri.
b)      Jika dua Asal yang saling bertentangan tersebut, masing-masing tidak mempunyai penguat maka Ulama tetap berselisih pendapat.
Contoh:
Seseorang berpuasa dan yakin sudah niat, tetapi ragu apakah niat itu dilakukan sebelum fajar ataukah sesudah fajar?
Karena dua Asal yang saling bertentangan ini masing-masing tidak mempunyai penguat, maka Ulama berbeda pendapat:
1.       mengatakan bahwa, puasa itu tidak sah sebab niat itu Asalnya adalah “tidak sah.”
2.      Ulama lain berpendapat bahwa, puasa itu sah, sebab sesudah fajar, Asalnya adalah “sebelum fajar.”

k.      والظّاهران ربمّا تعارض وهو قليل
“Dzahir itu kadang-kadang juga bertentangan dengan Dzahir lain, meskipun jarang terjadi.”
Contoh:
Sepasang lelaki dan perempuan tertangkap basah di sebuah hotel. Keadaan si Lelaki kelihatan jauh lebih muda dibandingkan dengan perempuan. Pada waktu diperiksa, yang perempuan mengatakan, bahwa lelaki itu adalah suaminya yang sah dan si Lelaki itupun membenarkan.
Dalam hal ini, menurut Qoul jadi: ikrar serta pembenarannya dapat diterima, tetapi menurut Qoul Qodim: tidak dapat diterima, sebab keadaannya meragukan. Jadi untuk menerima ikrar serta pembenarannya tersebut, harus ada saksi.
Macam-macam syak (ragu)
        Menurut Asy-Syaikh Al-Imam Abu Hamid Al-Asyfirayiniy, syak (keraguan) itu ada tiga macam yaitu :
aa.  Syak atas Asal yang haram
Misalnya: Ada seekor kambing disembelih di daerah yang berpenduduk campuran antara Muslimin dan Majusi. Kambing tersebut hukumnya tidak halal, sebab Asalnya haram.
bb. Syak atas Asal yang mubah
Misalnya: Ada air berubah, yang mungkin disebabkan oleh najis dan mungkin pula karena terlalu lama tergenang. Menurut hukum, air tersebut dapat digunakan, sebab Asalnya memang air itu suci.
cc.  Syak atas sesuatu yang tidak diketahui asalnya
Misalnya: A berhubungan kerja dengan orang yang sebagian besar uangnya adalah uang haram. Hukumnya boleh, sebab tidak dapat diketahui Diana uang itu (yang digunakan untuk muamalah) berasal.
Catatan:
a.       Syak (ragu) dan Dhan (sangkaan) itu pengaruhnya dalam hukum sama.
Misalnya: Seseorang bertamu ke rumah temannya. Sampai di sana rumah tertutup, lalu timbul dalam pikirannya “Teman ini, boleh jadi pergi dan mungkin malahan sedang tidur”, ini namanya Syak, “Tetapi kemungkinan besar ia masih berada di rumah sebab kendaraannya masih ada”. Ini yang namanya Dhan.
b.      Kaidah اليقين لايزال بالشّكّ ini mempunyai bandingan, yakniاليقين قد يزال بالشّكّ .
“Yakin itu terkadang hilang sebab bimbang.”
Tetapi kaidah ini hanya berlaku pada beberapa masalah, bahkan Syaikh Abul ‘Abbas Ahmad bin Al-Qash membatasi kaidah ini hanya pada sebelas masalah, sedang Imam Nawawiy menambahkan dengan beberapa masalah, begitu pula Imam Subkiy.
Contoh: Orang-orang akan melakukan shalat Jum’at, tetapi mereka merasa ragu, apakah waktu Jum’at masih ataukah sudah habis? Maka berdasarkan kaidah ini, mereka harus sholat Dhuhur saja.


BAB III
PENUTUP 
         Manusia menuju kunci kesuksesan dan keberhasilan menggapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat, karena keyakinan merupakan sugesti yang sangat kuat untuk mempengaruhi dalam setiap langkah yang akan dilalui oleh manusia.Keyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang sangat berbeda, bahkan dapat dikatakan saling berlawanan. Hanya saja besar kecilnya keyakinan dan keraguan akan bervariasi tergantung pada lemah kuatnya tarikan yang satu dengan yang lain.Dalil Aqli (akal) bagi kaidah keyakinan dan keraguan adalah bahwa keyakinan lebih kuat dari pada keraguan, karena di dalam keyakinan terdapat hukum Qath’i yang meyakinkan. Atas dasar pertimbangan itulah dapat dikatakan bahwa keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan kebimbangan/keraguan


DAFTAR RUJUKAN

السيدأبيبكرالأهدالياليمانيالشافعي، ٤۰۰٢، الفرائدالبهية. كديرى:المدرسةهدايةالمبتدئين
Jumantoro, Toto. dan Amin, Syamsul Munir. 2004. Kamus Ilmu Ushul Fiqih. Yogyakarta: Hamzah.
http://fikihilmiah.blogspot.com/


[1] Menurut kamus ushul fiqih
[2] Menurut kamus ushul fiqih
[3] Faraidul bahiyah hal 8-9
[4] Abi saskia
[5] Faraidul bahiyah hal 16
[6] Faraidul bahiyah 16

0 komentar:

Posting Komentar