Translate

Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » PERKEMBANGAN FIQIH PADA MASA KENABIAN

PERKEMBANGAN FIQIH PADA MASA KENABIAN









PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG.


Bangsa arab sebelum datangnya islam merupakan bangsa yang tidak mempunyai falsafah keagamaan dan kehidupan. Meskipun begitu, bangsa arab telah mempunyai prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah dalam masyarakat. Namun mereka tidak mempunyai kelengkapan untuk membentuk masyarakat yang baik. Di kala islam lahir, bangsa arab dan sekelilingnya dalam keadaan sangat membutuhkan aqidah yang benar dan syari’at yang lurus. Di antara syari’at itu adalah “fiqih”.


Fiqih merupakan aturan dalam agama islam yang tumbuh secara berangsur-angsur, setapak demi setapak hingga mencapai menuju puncak perkembangannya menuju kesempurnaan. Fiqih islam tumbuh dari suatu yang telah ada yang terdapat di daerah lahirnya islam yaitu arab. Kemudian berkembang dari masa ke masa hingga saat ini. Maka dari itu diharapkan dengan penulisan makalah ini dapat menambah dan mempeluas pengetahuan kita tentang perkembangan fiqih dari masa ke masa yang di khususkan dalam makalah ini adalah perkembangan fiqih pada masa shodrul islam atau pada masa Nabi Muhammad SAW.


B. RUMUSAN MASALAH


Dalam makalah ini rumusan masalah yang dapat kami paparkan adalah:


1. Bagaimana perkembangan fiqih pada masa kenabian?


2. Bagaimana perkembangan sumber-sumber fiqih yang digunakan pada masa kenabian?


3. Bagaimana perkembangan ijtihad pada masa kenabian?


















PERKEMBANGAN FIQIH PADA MASA SHADRUL ISLAM (MASA KENABIAN)






A. Sejarahdan Periode Fiqih


1. Tarikh/Sejarah Tasyri’


Tarikh tasyri’ atau sejarah fiqih islam, pada hakekatnya, tumbuh dan berkembang dimasa Nabi sendiri, karena Nabi lah yang mempunyai wewenang untuk mentasyri’kan hukum, dan berakhir dengan wafatnya Nabi. Dan yang dimaksud masa kenabian yaitu masa dimana hidup Nabi Muhammad saw, dan para sahabat yang bermula dari diturunkannya wahyu sampai berakhit dengan wafatnya Nabi pada tahun 11H. Era ini merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan fiqih islam. Suatu masa turunnya syariat islam dalam pengertian yang sebenarnya[1].


Turunnya syariat dalam proses munculnya hukum-hukum syariyah hanya terjadi pada era kenabian ini. Sebab syariat itu turun dari Allah dan itu berakhir degan turunnya wahyu setelah nabi wafat. Nabi sendiri tidak punya kekuasaan untuk membuat hukum-hukum syar’iyah karena tugas seorang rosul hanya menyampaikan hukum-hukum syar’iyah itu kepada umatnya.


Dari sini kita dapat memahami bahwa kerja para Fuqoha’ dan mujtahidin bukan membuat hukum tapi mencari dan menyimpulkannya dari sumber-sumber hokum yang benar. Sumber-sumber hokum islam yang menjadi rujukan para mujtahidin dalam mencari hukum-hukum syariyah adalah wahyu, baik dari al-Quran maupun as-Sunnah.


Sedangkan yang dimaksud dengan sejarah perkembangan fiqih islam (tasyri’) adalah ilmu yang membahas tentang keadaan fiqih islam pada masa Rasulullah dan masa-masa sesudahnya, untuk menentukan masa-masa terjadinya terjadinya hokum itu dan segala yang merupakan hokum, baik berupa naskh, takhshis dan lain-lain, serta tentang keadaan fuqoha’ dan mujtahidin beserta hasil karya mereka terhadap hukum-hukum itu[2].


2. Periode Tasyri’


Tasyri’ islam, telah melalui beberapa periode. Para Ulama yang memperhatikan sejarah tasyri’ hukum islam berbeda pendapat tentang membagi periode-periode yang telah dilalui oleh hukum islam itu, demikian juga jangka lamanya.


Ø Periode pertama


Periode pertumbuhan, yaitu masa Rasulullah, yang lamanya 22 tahun dan beberapa bulan, sejak dari tahun ke-13 sebelum Hijrah s/d tahun 11 Hijrah, atau tahun 611 M s/d 632 M.


Ø Periode kedua


Periode para Sahabat dan Tabi’in, yaitu periode para Khulafaur Rasyidin dan Amawiyin, yang berlangsung dari tahun 11 H (= 632 M) s/d 101 H (= 720 M).


Ø Periode ketiga


Periode kesempurnaan, yaitu periode Imam-imam Mujtahidin, yaitu masa keemasan Daulah ‘Abbasiyah. Periode ini berlangsung +- 250 tahun, sejak tahun 101 H (=720 M) s/d 350 H (= 961 M).


Ø Periode keempat


Periode kemunduran dan periode taqlid atau periode jumud, beku, statis, dan berhenti pada batas-batas yang telah ditentukan oleh ulama-ulama dahulu dengan tak mau beranjak lagi, yaitu sejak perte gahan abad keempat Hijrah atau tahun 351 H, yang sampai sekarangpun masih banyak terdapat luas perkembangannya dalam masyarakat.


Ø Periode kelima


Periode kebangkitan atau periode Renaissance.


B. Perkembangan Fiqih Pada Masa Shadr Islam (Masa Kenabian)


Masa pertama atau masa Nabi s.a.w adalah masa fiqih islam mulai tumbuh dan membentuk dirinya menjelma ke alam perwujudan. Sumber hukum yang digunakan pada masa ini adalah al-Quran dan as-Sunnah sebab wahyu itu turun dari Allah yang diberikan kepada Rasul untuk disampaikan pada umatnya. Masa ini meskipun tidak berusia lama, akan tetapi masa inilah yang meninggalkan bekasan-bekasan dan kesan-kesan serta pengaruh yang penting bagi perkembangan hukum islam yang kulli yang bersifat keseluruhan dan dasar-dasar yang umum yang universal untuk dasar penetapan hukum bagi masalah dan peristiwa yang tidak ada nashnya.


Dalam kitab at-Tasyri’ wal Fiqhi Fil Islam Tarikhon wa Manhajan karangan Manna’ al-Qatthan disebutkan bahwa, sumber Tasyri’ itu ada dua macam yaitu: Tasyri’ yang merupakan wahyu Allah secara ma’na dan lafadz, yang disebut Al-Quran ada juga Tasyri’ yang merupakan wahyu Allah secara ma’na bukan lafadz, yang disebut As-Sunnah.


فاالتشريع إما أن يكون وحيا إلهيا بالمعنى واللفظ, وذلك يتمثل في القرآن الكريم الذي أنزله الله على محمد صلى الله عليه وسلم, وإما أن يكون وحيا إلهيا بالمعنى دون اللفظ وذلك يتمثل في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم, فإنّ لفظ الحديث كلامه, وإن كان معناه وحيا[3].


لقوله تعالى : (وَمَا يَنْطِقُ عَن الهَوَى, إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى), النحل : 44


Sebelum membicarakan kedua sumber hukum (al-Quran dan as-Sunnah) tadi dan kerja fuqoha’, ada baiknya jika kita melihat terlebih dahulu kerangka tasyri’ (proses perkembangan syariat) dalam dua periode yang berlainan yaitu: periode Makkah dan periode Madinah, agar kita dapat memahami ciri-ciri dan karakteristik wahyu yang turun di Makkah dan Madinah sekaligus bagaimana Nabi saw (baca: sunnah) menerjemahkan kedalam situasi yang berbeda.


1. Periode Makkah


Periode Makkah ini adalah periode fiqih pertama yaitu selamaNabi s.a.w menetap dan berkedudukan di Makkah, yang lamanya 12 tahun dan beberapa bulan, semenjak beliau diangkat menjadi Nabi hingga beliau berhijrah ke Madinah. Dalam masa ini ummat islam masih sedikit dan masih lemah, belum dapat membentuk dirinya sebagai suatu ummat yang mempunyai souvereignity, kekuasaan yang kuat


Periode ini lebih terfokus pada proses penanaman (ghars) tata-nilai tauhid, seperti iman kepada Allah, Rasul-Nya, hari Kiamat dan perintah untuk berakhlak mulia seperti keadilan, kebersamaan, menepati janji dan menjauhi kerusakan akhlak seperti zina, pembunuhan, dan penipuan.


Aqidah pada periode ini, berpegang teguh pada agama samawi dan bersumber pada hal yang ditetapkan kepadanya yang menjadi tiang-tiang syari’at. Manusia tidak menerima syari’at kecuali bila/ketika telah diluruskan aqidah mereka, dan mereka beriman kepada Allah, dan kepada ke-Esaan Allah dalam uluhiyah dan rububiyyah, beriman kepada nama-nama, sifat, dan perbuatan Allah. Mereka meyakini adanya alam ghaib, darul akhirah, serta apa yang ada didalamnya seperti hisab, pembalasan, surga dan neraka.


Dalam Al-Quran surat Al-An’am – salah satu surat yang turun di Mekkah – kita dapati berbagai contoh dari hukum-hukum syariat seperti haram makan binatang yang disembelih tidak dengan nama Allah dan keterangan hewan-hewan yang haram dimakan[4], yang sebenarnya juga berkaitan dengan masalah-masalah akidah. Demikian pula perintah untuk melakukalan salat dan zakat. Zakat pada periode Makkah bersifat umum dalam arti sedekah atau infak fi sabilillah, sementara cara pelaksanannya, kadar yang harus dikeluarkan dan ketentuan lainnya disyariatkan pada periode Madinah.


Dengan kata lain, periode Mekkah merupakan revolusi akidah untuk mengubah sistem kepercayaan mesyarakat jahiliyah menuju penghambatan kepada Allah semata. Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah adalah berisikan hal-hal yang mengenai akidah kepercayaan, akhlak, dan sejarah[5]. Suatu revolusi yang menghadirkan perubahan fundamental, rekonstruksi sosial dan moral pada seluruh dimensi kehidupan masyarakat.


2. Periode Madinah


Periode Madinah ini dimulai pada masa Nabi setelah hijrah ke Madinah dan Nabi menetap di Madinah selama 10 tahun sampai wafatnya Nabi.


Dalam masa inilah umat islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terus menerus bertambah. Sehingga timbullah keperluasan untuk mengadakan syari’at dan peraturan-peraturan, karena masyarakat membutuhkannya untuk mengatur perhubungan antara anggota masyarakat satu dengan lainnya, baik dalam masa damai ataupun dalam masa perang.


Pada periode Madinah inilah turun ayat-ayat menerangkan hukum-hukum syar’iyah dari semua persoalan yang dihadapi manusia, baik ibadat seperti salat, zakat, puasa, haji, dan muamalat seperti aturan jual-beli, masalah kekeluargaan, kriminalitas hingga persoalan-persoalan ketatanegaraan. Dengan kata lain, periode Madinah dapat pula disebut periode revolusi sosial dan politik. Rekontruksi sosial ini ditandai dengan penataan pranata-pranata kehidupan masyarakat Madinah yang layak dan dilanjutkan dengan praktek-praktek pemerintahan yang dilakukan oleh Nabi saw, sehinnga menampilkan islam sebagai suatu kekuatan politik.


Karena itulah surat-surat Madaniyah, seperti surat-surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa’, Al-Maidah, Al-Anfal, At-Taubah, An-Nur, Al-Ahzab, banyak mengandung ayat-ayat hukum disamping megandung ayat-ayat aqidah, akhlak, sejarah, dll.


Dalam proses perkembangan periode Madinah ini ada tiga aspek syaria’at yang perlu dijelaskan. Pertama metode Nabi s.a.w, kedua kerangka hukum syari’at. Ketiga turunnya syari’at secara bertahap (periodik). Adapun aspek pertama yaitu metode Nabi s.a.w dalam menerangkan hukum, Nabi sendiri tidak banyak menerangkan apakah perbuatannya itu wajib atau sunnah, sebagaimana syarat dan rukunnya dan lain sebagainya. Misalnya ketika Nabi salat dan para sahabat melihat serta menirukannya tanpa menanyakan syarat dan rukunnya.


Kedua, kerangka hukum syariat. Ada hukum yang disyari’atkan untuk suatu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, seperti bolehkah menggauli istri yang sedang udzur (haid)[6]. Ada juga hukum yang disyariatkan tanpa didahului oleh pertanyaan dari sahabat atau tidak ada kaitannya dengan persoalan yang mereka hadapi, seperti masalah ibadah dan hal-hal yang berkaitan dengan muamalat.


Ketiga, turunnya syari’at secara bertahap (periodik). Dalam tahap periodik ini syari’at terbagi dalam dua hal, yaitu tahapan dalam menetapkan kesatuan hukum islam, seperti salat disyari’atkan pada malam isra’ mi’roj (satu tahun sebelum hijrah), adzan pada tahun pertama hijrah dan seterusnya. Yang kedua, tahapan itu tidak sedikit terjadi pada stu perbuatan. Misalnya, salat awalnya diwajibkan dua rakaat saja, kemudian setelah hijrah ke Madinah empat rakaat, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa A’isyah berkata : ”Salat diwajibkan dua rakaat, kemudian Nabi hijrah maka menjadi empat rakaat”[7].


C. Sumber-sumber Fiqih Di Masa Nabi


Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa sumber-sumber fiqih apda masa Nabi adalah wahyu, yaitu al-Quran dan as-Sunnah.


ü Al-Quran


Al-Quran adalah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, yang mengandung petunjuk kebenaran bagi kebahagiaan umat manusia. Al-Quran mengemukakan kepada kita kaidah-kaidah yang umum dan hukum-hukum yang bersifat ijmaliyah. Oleh karenanya Nabi saw lah yang menjelaskan, menguraikan dan membataskan kaidah-kaidah yang umum.


Ayat-ayat yang menunjukka pada proses perkembangan syari’at sebagian besar merupakan jawaban terhadap peristiwa dalam masyarakat[8]. Al-Quran yang diturunkan selama 23 tahun – 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah – mampu menjawab berbagai masalah, pertanyaan, situasi, dan kondisi yang dijumpai Nabi saw, dalam perjalanan misi kerasulannya. Tetapi esensi dari masalah, pertanyaan, situasi, dan kondisi itu selalu ditemukan manusia dalam kehidupan sepanjang masa, demikian kata Horald H[9].


Karakteristik yang cukup menonjol dari al-Quran adalah bahwa meskipun diturunkan dalam ruang dan waktu tertentu, sebab tertentu, tetapi esensi kalam tuhan tersebut adalah universal, mengatasi ruang dan waktu. Misalnya, masalah zakat yang ditekan berulangkali ditekankan, tetapi masih merupakan pemberian suka rela kepada angota-anggota yang miskin dari komunitas Islam Mekkah. Tetapi di Madinah, zakat dinyatakan wajib bagi kesejahteraan komunitas tersebut dan mulai ditertibkan aturan pelaksanaannya[10].


ü As-Sunnah


Sunnah adalah sumber fiqih kedua setelah Al-Quran. Dalam terminology muhadditsin, fuqaha, dan usuliyyin, sunnah berarti setiap sesuatu yang dinisbatkan pada Nabi Muhammad, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun ketentuan.


Sebagimana al-Quran, as-Sunnah juga tidak muncul dalam satu waktu, tetapi secara periodik mengikuti fenomena umum dalam masyarakat, oleh karena itu as-Sunnah bertujuan untuk menerangkan, merinci, membatasi, dan menafsirkan al-Quran.


D. Ijtihad Pada Masa Nabi


a. Ijtihad Nabi Muhammad


.


Terdapat perbedaan ulama mengenai ijtihad Nabi, dalam menentukan sebuah hukum. Apakah Nabi pernah melakukan ijtihad? Adakah peristiwa pada masa Nabi yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam al-Quran. Akan tetapi sebelum membahas tentang hal itu, kita harus mendudukakan persoalannya lebih dulu. Sebab ijtihad yang menyangkut kemaslahatan dunia dan pengaturan strategi perang, jelas itu dilakukan oleh Nabi.


b. Ijtihad Sahabat


Sebagaimana Nabi SAW berijthad,beliau juga membolehkan para sahabat berijtihad. Nabi SAW pernah mengutus ‘Amr bin ‘Ash memutuskan persoalan yang dihadapinya dengan pendapatnya sendiri, “bagaimana saya memutuskan perkara ini sedangkan anda masih ada?” Tanya ‘Amr. Kemudian Nabi menjawab “ya, jika kamu benar maka kamu akan memperoleh dua pahala, jika kamu salah maka kam memperoleh satu pahala”.


















































































PENUTUP


Turunnya sya’riat dalam arti proses munculnya hokum-hukum syar’iyah hanya terjadi di masa kenabian. Masa kenabian adalah suatu masa dimana Nabi Muhammad SAW masih hidup dan para sahabat yang bermula dari turunnya wahyu sampai wafatnya Nabi Muhammad SAW. Masa ini merupakan masa pertumbuhan dan pembentukan fiqih, suatu masa turunnya syari’at islam dalam pengertian yang sebenarnya.


Dalam masa kenabian ini kita dapat mengetahui pembagian periode tasyri’ pada periode makkah dan periode madinah yang keduanya saling melengkapi. Serta mengetahui sumber-sumber yang digunakan pada waktu itu. Pada masa kenabianpun Nabi Muhammad SAW tidak melarang adanya ijtihad untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an dan Sunnah.


















































































DAFTAR RUJUKAN


1. Ash shiddieqy, M. Hasbi. 1987 .Pengantar Ilmu Fiqih. PT. Bulan Bintang. Jakarta.


2. Yafie, Prof. KH. Ali. 1996 Sejarah fiqih islam. Risalah Gusti. Surabaya.


3. القطّان, منّاع. 2001.التشريع والفقه في الإسلام. مكتية وهبة: القاهرة






[1].Sirry,Mun’im A.Sejarah Fiqih Islam. 1996


[2]. ash-Shiddieqy, m.hasbi. PENGANTAR FIQIH. 1974. Hal 32


3. 2001منّاع القطّان,التشريعوالفقه في الإسلام,


[4] . Q.s. 6: 145


[5] . ash-Shiddieqy, m.hasbi. PENGANTAR FIQIH. 1974. Hal 35






[6] . Q.S. 2:22


[7]. Misyikatul Mashabih, Khatib Tibrizi, dalam Mun’im As Sirry, di tahqiq oleh Nashiruddin Al-Albani , jilid !, hlm. 425, Beirut, 1961.


[8] . Muhammad Khudhri Beg, dalam Mun’im. Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, hlm. 10, Dar al-Maktab al-Ilmiyah, Beirut.


[9]. Endang Saifudin Anshari, dalam Mun’im, Ilmu, Filsafat, dan Agama, hlm. 34, Bina Ilmu, Surabaya.


[10] . Dr. Fazlur Rahman, dalam Mun’im, op.cit.

0 komentar:

Posting Komentar