Translate

Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Segala Sesuatu Tergantung Maksudnya

Segala Sesuatu Tergantung Maksudnya

Segala Sesuatu Tergantung Maksudnya

الأمور بمقاصدها

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
      Sebagaimana kita ketahui bahwa kewajiban kita sebagai generasi baru dalam zaman pembangunan masyarakat ini adalah berusaha untuk menegakkan negara dan masyarakat yang diridhai Allah dengan cara menyebarkan fiqih Islam keseluruh bagian tanah air kita. Karena tidak dapat di pungkiri bahwa kemunduran fiqih Islam berarti kerusakan dan kebinasaan masyarakat Islam.
Salah satu penyebaran fiqih Islam tersebut dengan cara menguasai kaidah-kaidah fiqih yang menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih dan lebih arif dalam menerapkan fiqih dalam waktu dan tempat yang berbeda kasus, keadaan, dan adat kebiasaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah di dalam memberi solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dengan tetap berpegang kepada kemaslahatan, keadilan, kerahmatan dan hikmah yang terkandung di dalam fiqih.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Asal muasal dan Urgensi kaidah الأمور بمقاصدها ?
2. Apakah pengertian Niat?
3. Dimana letak niat dan kapan waktu niat itu dilakukan?
4. Apakah Syarat-syarat niat ?
5. Apakah fungsi dari niat?
6. Apakah macam-macam niat ?
7. Apakah tujuan dari niat ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Asal muasal dan Urgensi kaidah الأمور بمقاصدها.
2. Untuk mengetahui pengertian dari niat.
3. Untuk mengetahui letak niat dan waktu niat itu dilakukan.
4. Untuk mengetahui syarat-syarat niat.
5. Untuk mengetahui fungsi dari niat.
6. Untuk mengetahui macam-macam niat.
7. Untuk mengetahui tujuan dari niat.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Asal Kaedah
       Menurut Ahmad Sabiq (2009:14)Asal muasal kaidah الأمور بمقاصدها adalah berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim,Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Imam Abu Dawud, bahwa Rasulullah saw. Bersabda:
عَنْ أَمِيْرِ المُؤْمِنِيْنَ أَبِي حَفْسٍ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهَ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ يَقُوْلُ : إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُّنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِامْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ. (متفق عليه)
Artinya : “Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Khattab ra, berkata : Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda : Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan. Barang siapa yang berniat untuk melakukan hijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka nilai hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang niat hijrahnya karena dunia atau karena perempuan yang ingin dinikahi maka hijrahnya tergantung kepada yang dia maksudkan.
       Dalam kehidupan sehari-hari ungkapan kaidah الأمور بمقاصدها lebih dikenal dengan sebutan إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ. Perbedaan pendapat tentang penyebutan kaidah الأمور بمقاصدها ataukah إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ, hal ini disebabkan karena adanya dua hal yang melandasi:
1. Lafadl إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ adalah lafadl syar’i, dan bagaimanapun juga sebuah lafadl yang terdapat dalam al Kitab dan as Sunnah itu lebih dikedepankan serta diutamakan daripada lainnya.
2. Lafadl tersebut adalah apa yang diungkapkan oleh Rasulullah, sedangkan beliau adalah seseorang yang diberikan oleh Allah Jawami’ul kalim yaitu sebuah ucapan yang pendek lafadlnya namun mengandung makna yang sangat banyak. Sebagaimana sabdanya Rasulullah :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ قَالَ : فُضِّلْتُ عَلَى الْأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ : أُعْطِيْتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ ….”
Dari Abu Huroiroh bahwasanya Rasulullah bersabda : “Saya diberi keutamaan diatas para nabi dengan enam perkara, yaitu : Saya diberi jawami’ul kalim,…” (HR. Muslim 523). Ditegaskan pula oleh Imam As Subki bahwa lafadl kaedah : “إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ” lebih bagus daripada lafadl “الأمور بمقاصدها” karena diucapakan oleh seseorang yang diberi jawami’ul kalim.

B. Urgensi kaedah ini
        Menurut Imam Asy Syathibi “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sebuah tujuan itu dijadikan sandaran dalam menghukumi sebuah perbuatan, baik yang berupa ibadah maupun adat, dalil-dalil tentang masalah ini sangat banyak tidak bisa terhitung, dan cukuplah bagimu bahwasannya niat itu membedakan antara perbuatan yang merupakan adat ataupun ibadah, niat juga yang membedakan apakah ibadah ini wajib ataukah bukan wajib, juga dalam masalah adat, apakah dia itu merupakan adat yang wajib ataukah sunnah, mubah, makruh ataukah sampai tingkat keharaman, juga sah dan tidaknya serta hukum-hukum lainnya yang berhubungan dengan hal ini.” (Sabiq, 2009:17)

C. Pengertian Niat
        Secara bahasa niat adalah bentuk masdhar dari akar kata نوى ينوى yang maknanya adalah bermaksud atau tekad untuk melakukan sesuatu. Sedangkan menurut istilah makna niat adalah berkehendak untuk menjalankan ketaatan kepada Allah SWT dengan melakukan atau meninggalkan sesuatu. Niat atau tujuan seseorang dalam melakukan sesuatu sangat menentukan status hukum dari sesuatu yang dilakukannya, baik terkait dengan masalah ubudiyah (ibadah), mu’amalat (transaksi), munkahat (pernikahan) maupun jinayat (tindak pidana).
Beberapa Ulama’ ada yang berbeda pendapat tentang apakah niat itu termasuk rukun atau syarat:
a. Segolongan Ulama’ berpendapat, bahwa niat itu termasuk rukun, sebab niat shalat misalnya adalah termasuk dalam dzat shalat itu.
b. Ulama’ yang lain mengatakan, bahwa niat termasuk syarat, sebab kalau niat termasuk rukun, maka harus pula diniati, jadinya niat diniati.
c. Menurut Imam Al-Ghazali “Diperinci”. Kalau puasa, niat termasuk rukun; kalau shalat, niat termasuk syarat.
d. Imam Nawawiy dan Rafi’iy berpendapat sebaliknya; bagi shalat, niat termasuk rukun, sedangkan bagi puasa, niat termasuk syarat.

D. Tempat dan Waktu Niat
        Kesepakatan para Ulama’ bahwa tempatnya niat adalah didalam hati. Tetapi niat juga boleh dilakukan dengan lisan. Ini berlaku untuk semua ibadah, baik itu thoharoh, sholat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, jihad, maupun lainnya. (Sabiq, 2009:19)
Oleh karena itu kalau ada seseorang yang melafadzkan niatnya dengan lisan, namun apa yang dia lafadzkan itu berbeda dengan yang terdapat dalam niatnya, maka yang dianggap sebagai niatnya adalah yang terdapat dalam hatinya bukan lisannya, demikian juga kalau seseorang melafadzkan niat dengan lisannya, namun dalam hatinya tidak ada niat sama sekali, maka niatnya tidak sah. Hal ini berdasarkan kesepakatan para Ulama’, karena niat itu adalah kehendak dan tekad yang terdapat dalam hati.
       Secara umum, niat di tentukan diawal perbuatan misalnya, niat dalam sholat harus ditentukan pada saat takbirotul ihram. Ketika berwudhu niat harus dilakukan pada saat membasuh wajah.
Namun demikian, ada beberapa ibadah yang niatnya bisa diucapkan sebelum ibadah tersebut dilakukan:
a) Puasa
Niat dalam puasa bisa dilakukan sebelum fajar, bahkan jauh sebelum terbit fajar. Tetapi, apabila niat dalam puasa dilakukan setelah fajar, maka puasanya tidak sah, kecuali puasa sunnah yang menurut sebagian ulama, niatnya boleh dilakukan setelah fajar hingga waktu dzuhur tiba.
b) Zakat
Niat untuk mengeluarkan zakat juga bisa didahulukan sebelum menyerahkan harta zakat kepada fakir miskin, termasuk zakat fitrah. Sebab, niat sulit disertakan pada saat menyerahkan harta zakat.
c) Kurban
Niat dalam berkurban boleh diucapkan sebelum hewan disembelih, dan tidak wajib diucapkan bersamaan dengan awal penyembelihan. Bahkan, ketika penyembelihan hewan kurban dimulai, pemilik kurban hendaknya mewakilkannya kepada orang lain. Niat berkurban boleh diucapkan pada saat penyerahan hewan kurban kepada pihak wakil, meskipun tidak langsung disembelih.

E. Syarat Niat
        Para ulama sepakat bahwa perbuatan seorang mukmin tidak akan diterima dan tidak akan mendapatkan pahala kecuali jika diiringi dengan niat.
Dalam Ibadah Inti, seperti: shalat, haji, puasa, niat merupakan rukun. Karenanya ibadah-ibadah tersebut tidak sah kecuali jika diiringi niat. Adapun dalam ibadah yang merupakan saran dari ibadah inti, seperti: wudhu dan mandi, ada perbedaan pendapat dikalangan ulama. Madzhab Hanafi menyebutkan bahwa niat merupakan penyempurnaan untuk mendapatkan pahala. Sedangkan Madzhab Syafi’i dan ulama-ulama lain menyebutkan bahwa niat merupakan syarat sahnya sebuah ibadah. Oleh karena itu ibadah-ibadah tersebut tidak sah kecuali jika diiringi niat.

F. Fungsi Niat
Fungsi niat ada 2:
Pertama : Membedakan antara adat dengan ibadah.
        Karena hampir semua bentuk ibadah mempunyai kemiripan dengan yang berupa adat. Misalnya Puasa, yang hakekatnya adalah menahan diri dari makan, minum dan jima’ serta semua yang membatalkan dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Perbuatan ini mungkin saja dilakukan oleh seseorang karena sedang berpuasa, tapi juga mungkin dilakukan oleh seseorang karena sedang diet, atau akan menjalani operasi atau sebab lainnya, maka untuk membedakan antara keduanya harus dibedakan dengan niatnya. Kalau dia berniat puasa, maka dia adalah ibadah, sedangkan kalau diniatkan untuk lainnya maka dia adalah adat dan bukan ibadah.
Kedua : Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya.
       Hal ini dikarenakan satu jenis ibadah itu bisa bermacam-macam. Misal sholat, sholat itu ada yang wajib dan ada yang sunnah, sedangkan yang wajib ada berbagai macam begitu pula dengan sunnah, maka untuk membedakan antara keduanya maka wajib menentukannya dengan niat.

G. Macam-Macam Niat
      Niat menurut Ahmad Sabiq (2009: 21-22) ada 2 macam, yaitu :
a. Niat Amal
        Yang dimaksud dengan niat amal adalah bahwasannya dalam mengerjakan sebuah amal perbuatan harus diniati dengan niat tertentu tentang apa jenis dan macam dari ibadah tersebut. Yang atas dasar inilah, maka tidak akan sah sebuah jenis cara bersuci, sholat, zakat, dan ibadah lainnya kecuali dengan adanya niat, seseorang harus meningkatkan ibadah tersebut, dan jika ibadah itu terdapat berbagai jenis dan macamnya, maka harus menentukan macam dan jenis apa ibadah tersebut. Sebagai contoh adalah sholat, maka seseorang harus menentukan dengan niatnya apakah dia sholat wajib ataukan sunnah, dan jika sholat itu wajib maka harus ditentukan apakah itu sholat dhuhur atau ashar dan seterusnya. Karenanya dalam hal ini, peran niat sangat dibutuhkan untuk menentukan bentuk dan jenis sholat yang hendak dilakukan. Demikian pula dengan ibadah-ibadah lainnya yang memiliki keserupaan.
Secara terperinci, dibawah ini diuraikan beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam menentukan niat, khusunya dalam ibadah (Fadal,2008:21):
1) Niat tidak disyaratkan dalam ibadah yang tidak memiliki keserupaan. Diantara ibadah yang tidak memiliki keserupaan dengan ibadah lainnya adlah seperti beribadah kepada Allah, membaca Al-Qur’an, dzikir dan membaca shalawat. Bentuk-bentuk ibadah tersebut tidak sama dengan bentuk ibadah yang lain, sehingga dalam pelaksanaannya tidak membutuhkan niat untuk tujuan membedakan dengan ibadah lainnya. Artinya, tanpa niat pun perbuatan-perbuatan tersebut sudah bisa teridentifikasi bentuk dan tujuannya.
2) Niat harus ditentukan dalam ibadah yang memiliki keserupaan. Di depan telah dijelaskan bahwa diantara ibadah yang memiliki keserupaan adalah shalat. Misalnya, shalat dzuhur sama dengan shalat ashar, baik dari segi bentuk maupun rangkaiannya. Karena itu, penetapan niat dalam konteks ini merupakan suatu keharusan. Demikian juga dengan ibadah-ibadah lain yang memiliki keserupaan.
3) Disyaratkan untuk menegaskan kata “fardhu” dalam ibadah yang memiliki kesamaan antara yang fardhudengan yang bukan fardhu, seperti shalat dan mandi. Ibadah shalat meliputi ibadah wajib dan selain wajib (sunnah). Begitu juga dengan mandi besar. Sebab, bentuk mandi semacam ini sangat beragam, seperti mandi junub, mandi haid dan nifas, mandi untuk menghadiri shalat Jumat, mandi untuk membersihkan badan, dan lain-lain. Masing-masing memiliki rangkaian perbuatan yang sama, sehingga ibadah yang wajib harus ditentukan ke-“fardhu”-annya.
Adapun dalam ibadah-ibadah lain, seperti wudhu, puasa Ramadhan, haji dan zakat, tidaklah wajib menetukan “fardhu”
4) Tidak disyaratkan menyebutkan kalimat lillahi ta’ala (karena Allah) dalam setiap perbuatan ibadah.
Artinya, setiap orang yang melakukan ibadah tidak harus menyatakan lillahi ta’ala (karena Allah). Sebab, setiap ibadah akan menjadi syirik jika ditujukan kepada selain Allah. Jadi, meski seseorang tidak menyatakan “karena Allah” ketika beribadah, ibadah yang dilakukannya tetap sah dan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Fungsi niat amal untuk menentukan apakah amal perbuatan itu sah ataukah tidak.
b. Niat Ma’mul lahu(untuk siapkah amal perbuatan tersebut ditujukan)?
Dan inilah yang kita sebut dengan ikhlas, yaitu harus meniatkan semua amal perbuatan itu hanya untuk Allah SWT saja bukan lainnya.
وما امروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين
Artinya : “ Dan tidaklah mereka dipertahankan kecualiuntuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama hanya kepada-Nya”. (QS. Al- Bayyinah:5)
Dan niat yang ini untuk menentukan apakah amal perbuatan itu diterima oleh Allah atau tidak.
Contoh Penerapan Kaedah
Kaedah ini mencangkup semua permasalahan hukum syar’i namun cukuplah sebagai sebuah gambaran, beberapa contoh dalam penerapannya, yaitu :
a. Barang siapa yang membunuh seorang muslim tanpa ada syar’i yang membolehkannya, maka kalau dia melakukannya karena unsur kesengajaan maka ada hukum tersendiri, sedangkan kalau tanpa sengaja maka hukumannya pun lain.
b. Orang yang makan, kalau dia berniat dengan makannya untuk bisa menjalankan ibadah kepada Allah, maka makannya berubah menjadi yang berpahala, namun kalau tidak berniat sama sekali dan Cuma karena sudah kebiasaannya dia makan, maka dia tidak mendapatkan apa-apa.
c. Barang siapa yang menjual anggur atau lainnya dengan niat untuk dijadikan sesuatu yang haram, seperti akan dijadikan sebagai khamar, maka hukumnya haram, sedangkan kalau tidak ada niat dan tujuan seperti itu maka hukumnya halal.
d. Kalau ada seseorang yang tidur sebelum dhuhur, lalu bangun jam satu siang, namun dia menyangka kalau saat itu sudah jam lima sore, kemudian dia sholat empat rakaat dengan niat sholat ashar, maka sholatnya tidak sah dan dia harus mengulang sholat dhuhur lagi, juga dia harus mengerjakan sholat ashar kalau sudah masuk waktunya. Tidak sahnya shalat dhuhur karena dia berniat sholat ashar dan bukan shalat dhuhur, sedangkan tidak sah sholat asharnya karena belum masuk waktunya. Namun kalau dia sholat tadi dengan niat sholat dhuhur maka sholatnya sah.

H. Tujuan Niat
       Niat ditetapkan untuk membedakan antara ibadah dengan perbuatan yang menjadi kebiasaan. Niat juga dimaksudkan untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya dengan niat, perbuatan seseorang dapat ditentukan statusnya, apakah bernilai ibadah atau tidak. Bahkan, niatlah yang menetukan ada dan tidaknya pahala dari ibadah yang dilakukan.
Penganut madzhab Hanafi berkata:
لاَ سَوَابَ إِلاَّ بِالنِّيّة
Tidak ada pahala kecuali dengan niat”
Didalam Al-Qur’an dijumpai banyak ayat yang menjelaskan pentingnya niat dalam ibadah, terutama untuk menentukan ada dan tidaknya pahala dari perbuatan yang dilakukan seorang hamba.


BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan
        Niat adalah berkehendak untuk menjalankan ketaatan kepada Allah SWT dengan melakukan atau meninggalkan sesuatu.Setiapperbuatandidasaridenganniatdalamhati.Amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sebuah tujuan itu dijadikan sandaran dalam menghukumi sebuah perbuatan, baik yang berupa ibadah maupun adat.Niat membedakan antara ibadah dengan perbuatan yang menjadi kebiasaan. Niat juga membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya. Niat juga menentukan ada dan tidaknya pahala dari ibadah yang dilakukan. Jikaniat diucapkan dengan lisan, namun apa yang diucapkan berbeda dengan yang terdapat dalam niatnya, maka yang dianggap sebagai niatnya adalah yang terdapat dalam hatinya bukan lisannya, demikian juga jika niat diucapkan dengan lisannya, namun dalam hatinya tidak ada niat sama sekali, maka niatnya tidak sah.

b. Saran
       Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami masalah الأمور مهقاسدها,agar setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.


DAFTAR RUJUKAN

السيد أبي بكر الأهد الي أليماني الشافعي. 2004. الغرائد البهية. المدرسة هداية المبتدئين: كديري.
Fadal, Moh.Kurdi. 2008. Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta : CV. Artha Rivera.
Mistu, DR. Musthafa Dieb Al-Bugha Muhyidin. 2008. Al-Wafi fi Syahril Arba’in An-Nawawiyah. Damaskus: Daar Ibnu Katsir.
Sabiq, Ahmad bin Abduil Latief Abu Yusuf. 2009. Kaedah-kaedah Praktis Memahami Fiqih Islam. Purwadadi Sidayu Gresik: Pustaka Furqon.

0 komentar:

Posting Komentar